Rintik-Rintik Duka (Sebuah Cerpen)
Memang sudah biasa hujan turun tanpa
ancar-ancar. Ia pun sudah bosan dikelabui cerahnya panas matahari selama
beberapa jam hingga tak lama berselang turun hujan sederas-derasnya. Kota kecil
tempatnya berlabuh saat ini memang tak biasa. Ketika langit terlihat mendung,
hujan tak turun. Namun, ketika matahari cerah dapat dipastikan hujan akan turun
sederas air mata Nawang Wulan yang kehilangan selendangnya.
Pikirnya di musim kemarau kali ini hujan tidak akan
turun. Namun barangkali ia salah, karena hujan deras turun tepat pukul 12
siang, di saat ia sedang sibuk-sibuknya. Tentu saja pada akhirnya ia terpaksa
berteduh. Merelakan detik demi detik waktunya untuk menyaksikan bulir-bulir air
hujan yang turun. Atau pun menyaksikan satu persatu pengendara motor memakai
mantelnya. Ada pula kerumunan orang-orang yang seolah-olah tak takut akan
hujan. Ada pula polisi dan mobil ambulans. Mungkin
ada orang yang kecelakaan, pikirnya. Derasnya hujan meluluhkan rasa
penasarannya.
Menit demi menit berlalu namun nampaknya
hujan tidak mengijinkannya untuk beranjak. Merasa terlalu banyak waktu yang
terbuang, dirinya memutuskan untuk pergi saja. Hingga sampai akhirnya suara
seorang gadis membekukan langkahnya.
“Apa kamu percaya hujan merupakan
wujud duka?”
Matanya lalu terpicing. Belum pernah
sebelumnya ia mendengar suara seaneh gadis itu. Lebih-lebih dilempari
pertanyaan absurd oleh seorang anonim tak dikenal yang baru ia temui secara
kebetulan di jalan.
“Sejak kapan kamu ada di situ?”,
tanyanya.
“Sejak tadi, menunggumu.”
Ah, apa pula mau gadis ini. Buat apa punya payung kalau ketika hujan
tetap saja berteduh,
ujarnya. “Kamu menungguku dengan payungmu? Apa gunamu punya payung?”
“Cukup jawab pertanyaanku.”
Wajah gadis itu datar. Tidak tampak
sedih maupun senang. Hanya datar dan kaku. Ia pun mulai penasaran sekaligus
gemas. Barangkali gadis itu hanyalah satu dari sekian banyak gadis-gadis yang
sedang patah hati dan tak tahu harus berbuat apa selain menanyakan orang-orang
di jalan apakah hujan merupakan wujud sebuah duka. Karena dahulu teman SMAnya
juga berlaku demikian. Sibuk menanyakan hakikat kehidupan dan cinta ketika
kekasihnya yang seorang angkatan laut meninggal di selat sunda. Dan kemudian
tak lama berselang memutuskan bunuh diri.
“Mungkin di lain kesempatan aku dapat
menjawab pertanyaanmu.”
Gadis itu tidak berbicara apa-apa. Hanya
melukiskan senyum simpul dan kemudian berjalan pergi menerobos hujan. Ia pun
tak ambil pusing dan memutuskan untuk ikut pergi menerobos derasnya hujan.
***
***
Sudah 2 hari berturut-turut ia
memimpikan lelaki yang sama. Lelaki dengan paras wajah kaku dan tinggi semampai
yang senang menggunakan sneakers dan backpack biru tua. Setiap kali ia
memimpikan laki-laki tersebut, ia selalu terbangun dan menangis. Sampai-sampai
ibunya dibuat heboh dengan tingkah laku anak gadisnya yang aneh.
Memang sejak kecil ia tidak pernah
dekat dengan lawan jenis. Jangankan lawan jenis, teman bermain pun ia hampir
tidak punya. Mungkin kecanggungannya akan lawan jenis merupakan dampak dari
kesalahan ibunya yang memutuskan untuk membesarkannya tanpa seorang ayah.
Dahulu ketika sedang melaksanakan studi di Negeri Paman Sam, ibunya menjalin
hubungan dengan seorang pria latin yang kemudian mencampakkannya setelah tahu
ibunya hamil. Semenjak itu, ibunya memutuskan untuk membesarkannya sendiri
hingga kemudian kembali ke Indonesia dan menetap di kota kecil di bawah kaki
Gunung Slamet.
“Apa yang sebenarnya kau impikan,
nak?”, tanya ibunya.
Ia mulai mengatur napasnya yang naik
turun. Sesekali berusaha menghentikan air matanya yang seolah-olah tumpah ruah
tak terkontrol. Sesekali pula ia coba menatap wajah ibunya yang sejak tadi
cemas akan keadaannya.
“Aku memimpikan laki-laki semampai
yang mungkin sudah kucintai secara tidak sadar. Namun tiap kali aku mencoba
mendekatinya, laki-laki tersebut menghilang. Atau seolah-olah aku lah yang
tertarik ke dalam ruang hampa.”
Bagaimana bisa kita mencintai sesuatu yang tak kasat mata, ujar ibunya. Walaupun begitu tetap
saja ibunya berusaha menenangkannya hingga kemudia keduanya sama-sama terlelap
dalam pelukan.
***
***
“Apa kamu percaya hujan merupakan
wujud sebuah duka?”
Untuk kedua kalinya gadis itu
menghujaninya dengan pertanyaan yang sama, tentu saja di saat hujan sedang
deras-derasnya. Kali ini hujan membuatnya terjebak di depan sebuah bangunan
ruko yang tak terpakai. Ada dua orang gelandangan yang tertidur pulas. Dan secara
tiba-tiba muncul pula gadis bersuara aneh yang sibuk mempertanyakan duka.
“Siapa kamu?”, ucapnya.
“Alangkah lebih baiknya jika kamu
memperkenalkan diri terlebih dahulu.”, ucap gadis itu.
“Hadi. Mahasiswa hukum semester
akhir. Kamu?”
“Panggil aku Lara.”
Sesudah itu ia mulai memperhatikan
penampilan gadis tersebut secara seksama. Ternyata gadis itu mengenakan pakaian
yang sama dengan yang dipakai dua hari yang lalu. Rok sepanjang lutut dan
kemeja krem. Perawakannya yang tinggi
semampai, dan kulitnya yang sawo matang seperti orang amerika latin pada
umumnya membuat gadis tersebut terlihat sedikit lebih dewasa darinya. Walaupun
begitu, ia tetap memiliki keyakinan bahwa setua-tuanya gadis ini pasti hanya
satu atau dua tahun di atas umurnya.
“Dan bisakah kamu jelaskan kepadaku
mengapa kamu senang menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku?”
Tatapan mata gadis itu kosong. Seolah-olah
pikirannya tersita untuk menghitung derasnya rintik hujan yang turun ke bumi. Lama
ia menunggu gadis itu berbicara. Pada akhirnya gadis itu mulai membuka mulut.
“Aku selalu percaya bahwa hujan
mewakili kesedihan dan penderitaan manusia yang menguap ke langit.”
Metafora yang lumayan bagus, pikirnya. Lalu ia biarkan gadis itu bermonolog. Secara
diam-diam pun ia senang mendengarkan ucapan-ucapan maupun suara khas gadis itu.
“Ketika manusia terlalu banyak
mengemban duka, kesedihan itu pada akhirnya akan menguap ke atas langit.
Kemudian menggumpal menjadi sebuah awan. Lalu, meluruhkan tangisnya ke bumi.”
Gadis itu kemudian merenung sejenak.
“Walaupun begitu, aku tetap menikmati
hujan. Karena hujan memberitahuku sebesar apa duka yang meluruh. Kamu tahu,
manusia tidak bisa jauh-jauh dari duka.”
Kemudian ia balik bertanya, “Lalu
bagaimana kebahagiaan? Bukankah manusia juga hidup dengan kebahagiaan?”
Gadis itu merenung kembali. Butuh
waktu agak lama hingga gadis itu dirasa telah mendapatkan pemilihan kata yang
pas untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku rasa kebahagiaan merupakan suatu
hal yang temporal. Aku hampir tidak pernah berbahagia.”
Keduanya sama-sama terdiam.
Seakan-akan mereka terbius oleh suara rintik hujan yang kian mereda. Hingga
pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk pergi meninggalkannya termangu
sendiri.
“Aku harus pergi.”
***
***
Ketiga kalinya ia memimpikan lelaki
yang sama. Ketiga kalinya pula ia dibuat menangis tanpa sebab. Seolah-olah ia
akan kehilangan sesuatu yang berharga dari hidupnya. Kali ini ia bermimpi bahwa
laki-laki itu akan menunggunya di sebuah halte ketika hujan sedang turun sangat
deras. Halte yang sering ia lewati ketika ia berkunjung ke perpustakaan
universitas. Mimpinya memberikan harapan yang jelas. Bahwasanya ia dapat
menemukan lelaki itu hari ini, keyakinan lah yang membuatnya merasa demikian. Cepat-cepat ia hapus air matanya. Tanpa peduli
hujan deras, ia dengan cepat berkemas. Merapikan rambutnya yang berantakan
serta mencari payung kecilnya.
“Lara, hendak kemana kau pergi nak?”
Tanpa menggubris pertanyaan ibunya,
ia dengan tergesa-gesa mencari payungnya yang hilang. “Ibu taruh di mana payung
kuningku?”
Ibunya yang kehabisan akal menghadapi
tingkah laku anaknya yang aneh pun pada akhirnya ikut-ikutan sibuk mencari
payung kuning untuk anaknya. Hingga akhirnya mereka menemukan payung kuning
tersebut. Langsung saja ia bergegas menuju ke halte di mana ia akan bertemu
dengan lelaki yang selama ini ia mimpikan.
Mimpi itu seolah-olah menjanjikannya
suatu peluruh duka. Ia percaya bahwa lelaki dalam mimpinya yang pada akhirnya
akan menghentikan duka serta kesedihan dalam hidupnya. Lelaki yang akan ia
temui di tengah hujan itu digambarkan sebagai lelaki yang akan mencerahkan
hari-harinya, sebuah cahaya baru dalam hidupnya yang suram dan monoton.
Sepanjang jalan ia berpikir bahwa
gagasan untuk menemui lelaki yang tak jelas rimbanya itu merupakan suatu
kebodohan. Tanpa sadar ia mulai menangisi khayalan semunya. Namun, tetap saja ia
percepat langkahnya. Dengan harapan bahwa ia tidak sedang dibodoh-bodohi oleh
bunga tidur semata.
Demi Tuhan, aku mencintainya, ujarnya.
Pukul 12 siang, di tengah-tengah
hujan deras, pada akhirnya ia bisa melihat lelaki yang selama ini ia mimpikan. Lelaki
jangkung dengan sneakers dan backpack biru tua. Ia sangat yakin itu
merupakan lelaki yang sangat ia cintai. Tak sabar baginya untuk memberi tahunya
seberapa besar duka yang ia jalani sebelum bertemu dengannya. Tangis harunya
pecah. Ingin sekali ia memeluk lelaki tersebut.
***
***
Kali ini hujan turun ketika ia tidak
lupa membawa payung. Hal itu berarti bahwa ia tak akan membuang-buang waktunya
untuk berteduh di pinggir jalan, baik di halte maupun di depan bangunan kosong.
Hal tersebut juga menandakan bahwa berarti ia tak akan dihujani pertanyaan yang
sama oleh seorang gadis aneh bernama Lara yang telah dua kali muncul secara
tiba-tiba di hadapannya bak dedemit yang kehausan mangsa. Lara dua kali muncul
ketika ia sedang meneduh sehingga ia dapat menarik kesimpulan bahwa kali ini gadis itu tidak akan muncul. Walaupun ia masih heran mengapa Lara muncul seperti
hantu. Atau mungkin Lara memang seorang
hantu penasaran, pikirnya. Entah lah, ia tidak terlalu memikirkan hal
tersebut.
Sejenak ia mulai merenungi apa yang
dua kali ditanyakan Lara kepadanya. Semakin dalam otaknya berpikir, semakin
sesak dadanya. Di tengah-tengah derasnya hujan ia mulai meluruhkan air matanya.
Ia mulai tersadar bahwa benar hujan merupakan wujud sebuah duka yang meluruh. Semakin
sesak dadanya, semakin ia merasakan duka merasuki dirinya. Ia akhirnya tersadar
bahwa selama ini ia telah mengemban duka yang cukup besar hingga pertahanannya
mulai runtuh. Tangisnya tumpah ruah bersamaan dengan air hujan yang meluruh.
Aku rasa Lara merupakan malaikat
kirimin Tuhan. Agar aku tersadar akan duka dan kesedihan yang telah lama kutanggung. Aku sama-sama tidak
pernah merasa bahagia, sama sepertinya.
Dalam tangisnya yang sendu seolah-olah ia merasa kalau Lara
tak akan pernah datang lagi ke hidupnya. Dan setelahnya, ia merasa seperti
kehilangan seluruh hidupnya.
***
***
Lara tidak pernah benar-benar bertemu lelaki yang ada dalam
mimpinya tersebut. Sebelum ia sempat melangkahkan kakinya ke halte tersebut, ia
tertabrak mobil. Pandangan matanya yang kabur karena air mata menyebabkannya
tergelincir dari trotoar dan membuatnya tertabrak mobil sport yang sedang meluncur kencang. Tepat pukul 12 siang di tengah
derasnya hujan, Lara telah melihat satu-satunya lelaki yang pernah ia cintai
selama hidupnya.
18/10/15
Anggi.

Comments