Marni dan Tejo

Sudah dua minggu ini Marni tak berselera makan. Jangankan makan, untuk kerja saja rasanya ogah-ogahan. Dua minggu berselang sejak Tejo, kekasihnya selama empat tahun belakangan, memutuskan untuk pergi dan menikahi perempuan lain. Marni tak pernah mengira bahwa laki-laki yang selama ini ia kasihi dengan segenap jiwa dan raganya tega meninggalkannya karena idaman lain.

Marni bertemu dengan Tejo ketika keduanya sama-sama bekerja di sebuah kantor di bilangan Tanah Abang. Marni merupakan seorang tenaga cleaning service dan Tejo merupakan salah satu dari empat orang petugas keamanan atau yang lebih sering disebut satpam. Kala itu Tejo sedang berkeliling kawasan kantor seperti biasa, ketika ia melihat seorang perempuan sedang duduk di tangga darurat lantai 20. Tejo yang saat itu berpikiran bahwa perempuan itu hendak bunuh diri, dengan panik langsung naik ke atas dan menyusuli perempuan tersebut. Ternyata, perempuan itu hanya sedang duduk sambil merokok dengan salah satu kakinya terangkat. Perempuan itu tak lain adalah Marni.

"Mbak, kalau mau bunuh diri jangan di sini. Sini turun sama saya."

"Sampean nggak ngeliat saya lagi ngerokok? Cuman di sini yang nggak ada tanda dilarang merokok!"

Setelah pertemuan pertama mereka. Baik Marni maupun Tejo pada akhirnya memiliki kebiasaan untuk merokok bersama sambil meminum segelas kopi kapal api yang biasanya Marni ambil dari dapur kantor. Mereka melakukan kebiasaan ini baik ketika Tejo kedapatan shift pagi ataupun malam. Jika Tejo kedapatan shift pagi, maka mereka akan melakukan kebiasaan mereka di jam-jam makan siang. Apabila Tejo kedapatan shift malam, maka mereka akan memulai kebiasaan mereka setelah Marni pulang kerja.

"Cuman sampean yang ngerti saya, Ni."

Pada akhirnya puluhan percakapan, puluhan batang rokok, puluhan gelas kopi, dan ratusan menit waktu yang di lewatkan keduanya berujung pada sebuah ciuman hangat di sore hari. Sore hari yang cukup tenang ketika matahari sedang tergelincir secara perlahan. Bagi keduanya, indahnya pemandangan Ibu Kota di kala senja masih kalah dengan indahnya momen ketika mereka saling berciuman. Setelahnya mereka memutuskan untuk berpacaran. 

Sesudah itu pertemuan keduanya tidak hanya sebatas perbincangan dengan segelas kopi di tangga darurat. Baik Marni maupun Tejo sering mengunjungi satu sama lain. Namun, karena kamar sewaan Marni dinilai lebih dekat dari tempat kerja, lama kelamaan ritual ngopi mereka mulai berubah menjadi ritual kelon-kelonan sepanjang siang ataupun malam. Tergatung shift kerja yang dimiliki Tejo. Sejauh itu Marni tak pernah keberatan. Marni mencintai Tejo dan begitu pula sebaliknya Tejo mencintainya.

"Asal sampean tahu, mas, saya sudah tak perawan."

Itu lah kata-kata pertama yang diucapkan Marni ketika pada suatu malam sepulang kerja, Tejo dengan tergesa-gesa menciumi sekujur tubuhnya hingga secara tak sadar keduanya sama-sama telanjang bulat. Marni tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Oleh karena itu, ia memberi tahu Tejo yang sebenarnya agar kelak Tejo tidak terkejut, atau lebih-lebih marah.

"Saya tidak peduli, Ni, toh saya juga bukan seorang perjaka."

Kemudian mereka bercinta sepanjang malam. Berhenti hanya untuk makan dan minum, ataupun buang air. Setelah itu mereka terus bercinta tanpa peduli kegaduhan yang mereka perbuat. Bagi para penghuni gang selebar pantat di kawasan kumuh sekitar Kuburan Karet, Tanah Abang, tidak pernah benar-benar ada rahasia yang bisa disembunyikan. Wong baru buka pintu, udah ketemu pintu. Para tetangga pun sampai hafal akhirnya berapa kali Marni dan Tejo bercinta setiap minggunya. Pada akhirnya Marni jadi bahan gunjingan bagi ibu-ibu sepanjang gang. Namun Marni tak pernah ambil pusing. Persetan dengan mereka, pikirnya.

"Ceritakan pada saya siapa yang membuatmu tidak perawan." Ucap Tejo suatu malam sehabis mereka bercinta tanpa henti.

Seperti mengorek luka yang telah kering, agak sulit bagi Marni untuk kembali mengingat pengalaman pahitnya dahulu. Perlahan ia mulai mencoba untuk memberi tahu Tejo, sekali-kali ia tengok air muka kekasihnya, takut-takut ia mengatakan kata-kata yang salah.

"Pacarku dulu di kampung. Waktu itu saya masih terlampau lugu."

"Lalu mengapa sampean tidak menikah dengannya?"

Butuh waktu sedikit lebih lama lagi bagi Marni untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan kekasihnya. Sejenak ia menghela napas berat dan menjawab pertanyaanya.

"Ia memutuskan untuk menikahi perempuan lain yang ia nilai perawan. Katanya, orang tuanya hanya mau ia menikahi perempuan baik-baik. Dan perempuan baik-baik sudah seharusnya perawan."

"Betapa piciknya mantan pacar sampean itu. Seharusnya ia sadar, justru ialah yang tidak baik."

Keduanya kemudian terdiam. Tejo merasa sudah tak ada pertanyaan yang harus dilontarkan kepada Marni. Pun Marni tidak berminat menanyakan pertanyaan sebaliknya ke Tejo. Alih-alih malas, ia hanya merasa tidak ada yang perlu diketahu mengenai masa lalu Tejo. Baginya, apa yang telah terjadi tidak perlu dipermasalahkan. Selama Tejo mencintainya, Marni tak peduli pada apapun.

Setelah berdiam diri selama beberapa menit, mereka kembali bercinta. Mereka selalu menyelesaikan baik percakapan, permasalahan, hingga pertengkaran dengan bercinta. Seolah-olah bercinta merupakan ritual yang dilakukan untuk mendapatkan wahyu. Apabila orang sakti bersemedi untuk meningkatkan ilmunya, maka baik Tejo maupun Marni hanya cukup bercinta untuk menyelesaikan segala hal. Hidup untuk bernapas dan bercinta. 

Keduanya gemar bercinta tiap minggunya hingga di tahun ketiga mereka berpacaran. Pada pertengah tahun 2014, tiga tahun setelah mereka berpacaran, Tejo tidak lagi bekerja sebagai satpam di kantor tempat Marni bekerja. Tejo menerima pekerjaan baru sebagai satpam sebuah apartemen kelas menengah atas di kawasan Ancol. Semenjak itu, intensitas bercinta keduanya berkurang. Dari yang tadinya seminggu tiga kali, menjadi sebulan tiga kali. Lama kelamaan bahkan  bisa dua bulan sekali. Marni tak ambil pusing, toh keduanya masih tetap berkomunikasi baik lewat sms ataupun jejaring sosial facebook.

Suatu sore Tejo datang ke kantor tempat Marni bekerja secara tiba-tiba. Ia mengajak Marni mengobrol di tangga darurat seperti pertama kali mereka bertemu. Saat itu, otak Marni hanya dipenuhi oleh hal-hal romantis seperti pernikahan sehidup semati dengan kehidupan yang mapan, serta anak-anak yang berbudi pekerti. Tentu, mimpi-mimpi picisan tersebut layak dimiliki oleh seseorang yang telah menjalin kasih bertahun-tahun. Dan Marni pantas menghayalkannya.

"Saya rasa hubungan kita hanya sampai di sini, Ni."

Buyar semua hayalan Marni. Buyar semua lamunan indahnya. Saking terkejutnya Marni sampai menjatuhkan puntung rokok yang sedang dihisapnya. Ingin rasanya Marni tersedu, namun ia berusaha menahan air mata di pelupuk matanya.

"Sampean jangan bercanda, Mas. Saya pikir kelak kita akan menikah."

Tejo hanya terdiam. Wajahnya pucat pasi. Mulutnya tergagap. Ia bingung dan kalut. Ia tak tahu harus berkata apa. 

"Saya memang akan menikah, Ni. Tiga minggu lagi di kampung. Karena itu saya beritahu sampean."

Marni marah. Marah sekaligus bingung harus memberi respon seperti apa. Ingin sekali ia mendorong Tejo ke bawah hingga mati. Namun ia tak sampai hati, ia terlampau mencintainya sampai mati.

"Jadi, sampean lupa dengan segala hal yang telah kita jalani?"

Tejo hanya menggeleng.

"Kalau begitu, apa sampean selama ini selingkuh?"

Tejo hanya terdiam. Ia ingin menggeleng tetapi urung melakukannya.

"Hanya karena sampean pikir Ancol dan Tanah Abang jauh, sampean berani-beraninya selingkuh?"

Suara Marni mulai bergetar. Tangan Marni mulai mengepal dengan keras. Bukan kali ini Marni ditinggal menikah oleh kekasihnya. Dahulu Marni pernah merasakan pahitnya dikhianati. Hanya saja, kali ini terasa lebih pahit. Walaupun begitu, pengalaman dan kekuatan hatinya dapat membuatnya bersikap senormal mungkin. Setidaknya ia tidak harus menangis dan meraung-raung seperti 8 tahun lalu, ketika Aji memutuskan untuk menikahi Sundiah, perempuan yang dinilai baik-baik karena masih perawan.

"Kalau begitu terserah sampean. Menikahlah sana dengan sundal itu!"

Tejo menundukkan wajahnya. Ia sama sekali tidak berani menatap lekat-lekat wajah Marni yang dipenuhi amarah. Ia kemudian bangun dari duduknya dan memutuskan untuk meninggalkan Marni. Namun langkahnya tertahan. Marni memanggilnya.

"Mas, jawab pertanyaanku. Apakah sundal itu masih perawan?"

Tejo terdiam sembari mengangguk. Kemudian ia berkata dengan lirih.

"Iya. Ia masih perawan."

Ah, lagi-lagi soal perawan atau tidak. Laki-laki memang hanya mau enaknya saja. Marni hanya dapat membatin demikian. Pada akhirnya ia membiarkan Tejo pergi meninggalkannya sendiri. Meninggalkannya sendiri tanpa sempat ia memungut sisa-sisa diri. 




26/02/2016
23:43

A.
saya nggak tau mengapa saya senewen dari sore.

Comments

Popular Posts