Becoming 20: Sebuah Renungan?
Dua hari lagi saya sudah tidak pantas menyandang gelar remaja belasan tahun. Usia saya akan bertambah angka 0 di belakangnya, dan angka 2 di depannya, tepatnya 20 tahun. Usia ke-20 dinilai sebagai gerbang baru dalam kehidupan karena kita tidak hanya dituntut untuk menjadi dewasa, melainkan berpikiran ke depan, bijaksana, realistis, rasional, dan segala embel-embelnya. Tentu saja kepala dua membuat saya harus menyiapkan segala amunisi untuk survive, bersaing, bekerja, menghidupi diri sendiri. At least, saya harus tahu setia harinya apa yang saya akan makan supaya tidak mati. Lebih-lebih lagi sekarang era MEA kan yah? (Oke nggak usah bawa-bawa MEA dulu yah).
Saya sadar kalau saya sudah tidak lagi muda, maksudnya sudah tidak lagi kanak-kanak. Saya kuliah sudah empat semester dan setiap hari rasanya badan kayak setengah urip. Tugas seakan membelah diri bak amoeba di lab biologi. Belum ditambah lagi urusan organisasi, dan projek-projek ngalor ngidul bersama sahabat karib. Alhasil setiap malam saya hanya bisa menghela napas panjang-panjang, mematikan lampu dan mengunci diri di kamar, padahal masih jam sembilan. Rasa-rasanya setiap hari saya cuman pengen mengunci diri, matiin lampu, tidur di bawah selimut, pasang headset dan nyetel musik indie tanpa koneksi internet, tanpa ada yang nyariin, tanpa kepikiran tugas masih ada berapa lagi!
Saya tidak mengeluh karena saya tahu semua orang punya beban-beban yang harus dipikul seorang diri. Namun, saya cuman nggak bisa bayangin kalau saya makin besar kerjaan saya mau membelah diri seberapa banyak lagi? Saya takut terkadang bahwa pada akhirnya saya nggak bisa survive, nggak bisa handle semua masalah, dan nggak mampu untuk menghadapi dunia. Saya cemas bahwa suatu saat saya terlalu sibuk untuk menghidupi diri hingga tersingkir dari ruang sosial; tempat orang-orang sibuk mengaktualisasikan diri, berkumpul, berinteraksi, berkasih-kasihan, maupun saling puji-memuji. Sehari cuman 24 jam, ngurusin kerjaan sendiri aja bahkan nggak kelar-kelar, apalagi ngurusin orang lain!
Saya takut suatu saat saya nggak bisa mengatur waktu dengan baik sehingga nantinya saya tersingkir dari pergaulan sosial. Nggak kebayang kan kalau hidup cuman untuk menghidupi hidup itu sendiri; kerja, kerja, kerja, kerja supaya nggak mati! Hiiiiiihhhhhhh.... Jangan sampai begitu lah pokoknya!
Jadi, pada akhirnya saya mulai berpikir untuk merapihkan skala prioritas hidup saya. Daridulu pun sebenarnya saya sudah punya yang namanya skala prioritas. Hanya saja, skala prioritas yang saya buat terkadang suka nggak logis. Saya inget waktu umur saya 18 tahun saya dengan bodohnya menggadaikan masa depan saya untuk laki-laki yang bahkan saya nggak abis pikir bisa saya bela-belain sebegitunya; kuliah di universitas yang sama dengan (mantan) pacar saya. Kalau dipikir-pikir itu keputusan tertolol yang pernah saya lakuin. Untuk itu, di usia saya yang ke-20 kelak, saya setidaknya mau berusaha untuk menjadi lebih bijak dan realistis dalam penentuan skala prioritas hidup yang cuman sekali itu.
Selain itu, saya pun mulai disibukkan dengan waktu yang saya gunakan untuk memilah-milah dan mengkategorikan berbagai kegiatan yang pantas atau tidak pantas dilakukan seorang perempuan berusia 20 tahun. Saya mulai berasumsi bahwa seorang perempuan dewasa sudah tidak pantas melakukan hal-hal random seperti backpacking dadakan tanpa tujuan, galau-galau nggak jelas karena putus cinta, ataupun baca novel atau roman kacangan yang nggak berkelas. Secara perlahan saya mulai menciptakan suatu segmentasi antara perempuan berusia puluhan dan perempuan berusia belasan. Dilematis memang ketika pada akhirnya saya berpikir kalau apakah perempuan dewasa seharusnya bertindak dewasa atau hanya berpura-pura terlihat dewasa?
Saya pikir dalam beberapa hal ada benarnya juga bagi kita, atau setidaknya perempuan yang kelak akan dewasa untuk mendewasakan diri dengan mengubah berbagai kebiasaan dan tingkah laku. Namun, kadang saya masih suka berpikir bahwa usia bukanlah tolak ukur suatu kedewasaan. Mbok masih banyak temen-temen saya yang pacaran kayak anak SMP yang kerjanya berantem di depan umum, atau chatting hampir setiap detik padahal abis kuliah selesai bakal ketemu lagi!
Oh iya, saya jadi inget. Kemarin Akbar, salah satu teman saya berkunjung ke kosan. Seperti biasa pada akhirnya kami menghabiskan hampir tiga jam untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul tanpa topik yang jelas. Dia bilang sama saya, atau entah memberi saran bahwa sudah seharusnya saya sebagai manusia yang semakin tua memperbesar jaringan relasi dan circle saya. Katanya saya monoton, nggak punya temen, terlalu asik di comfort zone, dan lupa bahwa dunia lebih besar dari daun kelor. Kalau dipikir-pikir sih bener juga. Saya terlalu asyik berlindung di zona nyaman saya, saya urung memperbesar inner circle saya karena saya rasa saya harus selektif untuk itu, dan di samping itu pula saya males ketemu banyak orang, berinteraksi, menghadapi berbagai persilangan, pertengkaran, dan sebagai efek dominonya saya bertambah setres, pusing, depressed, dan nggak karu-karuaan. Prinsip keeping our circle small masih saya anut sampai sekarang dan entah kapan saya bakal berganti ideologi. Kalau dipikir-pikir, sampai kapan saya mau kayak gini?
Hidup bukan perkara mudah. Tiba-tiba saja saya dilahirkan di dunia tanpa diberi kesempatan memilih untuk dilahirkan atau tidak. Setelahnya saya dijejali jutaan pilihan dan keputusan yang harus saya ambil. Bukan saya bermaksud untuk tidak bersyukur. Walaupun hidup saya tidak senang-senang amat, saya masih takut mati. Saya bahkan nggak tahu bakal hidup sampai kapan. Apakah angka 20 merupakan 1/2 hidup saya, 1/3, 1/4, 1/5 atau bahkan jangan-jangan 1/6 hidup saya? Who knows yah kan? Setidaknya seberapa lama pun itu saya ingin memaknainya dengan baik. Saya ingin menggunakan waktu saya dengan bijak (sebisa mungkin). Persetan lah dengan idealisme dan segala tete-bengek cita-cita. Saya sebentar lagi 20 tahun, dan saya cuman mau bahagia.
dua hari menjelang ulang tahun,
A.
Comments