Romantisme dan Pernikahan: Konstruksi Budaya dan Kapitalisme


Disclaimer: tulisan ini hanya diperuntukan bagi mereka yang berpikiran terbuka


source: abigail marie photography official facebook


Sejujurnya, saya agak sedikit jengah dengan akun-akun romantis menye-menye yang biasa ditemui di timeline Line saya. Saya ambil contoh misalnya akun-akun super galau macam tumbler, prestigeholics, i heart you, dsb. Banyak dari akun-akun tersebut memiliki peran yang besar dalam mengkonstruksi hal-hal romantis menjadi relationship goals yang sialnya diamini oleh banyak remaja tanggung masa kini! Istilah relationship goals mulai acap kali digunakan untuk menggambarkan wujud-wujud romantisme yang dilakukan masing-masing orang untuk mengekspresikan bentuk cintanya.

Seperti misalnya, relationship goals masa kini ialah ketika seorang laki-laki memberi pasangannya, yang sudah pasti seorang perempuan, sebuah boneka lucu sebesar anjing, sebuket bunga yang diameternya melebihi kepala sendiri, maupun berbagai variasi fancy surprise di kamar kos, restauran bintang lima, hingga kamar hotel. Yang tentunya lengkap dengan pernak-pernik balon timbul, lilin-lilin terapi, mawar merah, hingga kue-kue dengan bentuk lucu. Kalau sudah dapat yang begitu, biasanya baik si laki-laki ataupun perempuan akan pamer foto via instagram atau path, dan diiringi oleh komen-komen yang menunjukkan kekaguman, keirian, hingga hashtag #relationshipgoals.

Maraknya fenomena tersebut pun tidak disia-siakan oleh para pemodal dan otak-otak cerdik di luar sana. Pada akhirnya, mulai muncul lah para penjual jasa surprise, dekorasi, hingga penjual buket-buket bunga lucu yang harganya bervariatif. Bahkan, mulai muncul paket-paket yang ditawarkan seperti paket wisuda, paket ulang tahun, ataupun paket menembak (re:menyatakan cinta)! Di Purwokerto sendiri, kota yang telah saya diami selama hampir dua tahun ke belakang, banyak ditemui usaha-usaha serupa yang dikeola baik oleh mahasiswa secara kecil-kecilan, maupun oleh perusahaan event organizer secara besar-besaran. Biasanya, bagi para mahasiswa proletar seperti teman-teman saya, jasa dekorasi yang dikelola oleh sesama mahasiswa lebih diminati dengan alasan harganya lebih murah dan terjangkau oleh dompet mahasiswa.

Berterimakasih lah pada media massa yang memiliki andil besar dalam membentuk pemahaman masyarakat luas, dan dalam hal ini target pasar, terhadap hal-hal romantis yang semakin hari semakin di komodifikasikan. Dalam bahasan ekonomi politik media dikatakan bahwa media memiliki peran dalam mengkonstruksi dan mempengaruhi masyarakat melalui pesan yang disebarkannya. Dalam hal ini, nilai fungsi sebuah  pesan yang disebarluaskan diubah menjadi suatu nilai komoditas yang memiliki nilai jual. Oleh sebab itu, mulai bermunculan iklan-iklan komersial berskala kecil ataupun besar seperti misalnya broadcast message di BBM, maupun iklan-iklan di timeline Line yang mempromosikan komoditas 'romantis' seperti iklan jasa hingga barang penunjang yang digemari pangsa pasar saat ini.

Selain relationship goals serupa pemenuhan produk-produk 'romantis' di atas, saat ini media sungguh memiliki peran yang besar dalam mendefinisikan goals bagi pasangan-pasangan masa kini. Suatu masa saya pernah melihat bagaimana sebuah akun percintaan di Line memposting ilustrasi relationship goals saat ini yakni beberapa foto pasangan, yang biasanya merupakan public figure ataupun artis, menikah setelah berpacaran cukup lama, ataupun menikah setelah bersahabat cukup lama. Dalam hal ini, media dan masyarakat sosial memiliki andil besar dalam merumuskan kaidah-kaidah hubungan romantis yang baik dan juga final goal dari hubungan itu sendiri, yakni pernikahan.

Pernikahan saat ini dipandang sebagai suatu pengejawantahan cinta yang absolut. Maka mulai bermunculan ucapan "kalau memang cinta, jangan dipacarin, tapi dinikahin!" ataupun "yang bener-bener cinta yah yang berani datang melamar!" Tentu di negara dengan heteronormativitas yang tinggi seperti Indonesia, pernikahan yang dimaksud ialah antara pernikahan antara seorang lelaki dan perempuan yang bersifat monogami: tidak ada perselingkuhan alias cinta sehidup semati. Maka haram hukumnya bagi seserang untuk melakukan poliamori, lebih-lebih open relationship! Bisa-bisa dianggap tidak bermoral dan tidak bermartabat! 

Selain itu, pernikahan dinilai hanya pantas bagi pasangan heteroseksual yakni lelaki dan perempuan. Jadi, bagi seorang homoseksual, pernikahan tidak pantas dilakukan. Mengapa demikian? Karena pernikahan dipandang sebagai sarana prokreasi yakni menjalankan fungsi reproduksi sebagai pembentuk keluarga dan penerusan keturunan. Pelaksanaan fungsi prokreasi hanya dapat dilakukan oleh pasangan heteroseksual. Tak ayal, pernikahan ideal merupakan pengejawantahan cinta bagi pasangan-pasangan heteroseksual. Dan hal tersebut tidak hanya diamini oleh agama sebagai salah satu produk budaya, melainkan juga negara.

Padahal jika kita menilik sejarah, ekstramarital sangat marak terjadi di kalangan suku-suku tribal di seluruh dunia. Hendri Yulius, dalam bukunya yang berjudul Coming Out, memuat hasil riset seorang antropolog bernama Stephen Beckerman dari Pennsylvania State University terhadap lebih dari 20 tribal societies dari Paraguay hingga Tanzania. Dikatakan bahwa seorang perempuan Canela yang berasal dari Amazonian Brazil dapat berhubungan seks dengan lebih dari 40 orang laki-laki dalam suatu ritual yang sengaja dibuat. Ketika si perempuan ingin memiliki anak, ia dapat meminta lima lelaki favoritnya yang dianggap dapat memberikan kontribusi bagi si perempuan untuk melahirkan bayi-bayi unggulan. Kontribusi tersebut diwujudkan dalam tiap tetes air mani yang masuk dalam rahim si perempuan. Seperti misalnya, air mani pria tampan, pria bersuara merdu, hingga pria cerdas. 

Tradisi tersebut berjalan hingga pertengahan abad lalu dan kemudian menghilang sejak misionaris kristen datang menggembar-gemborkan gagasan mengenai surga dan neraka. Perilaku ekstramarital tersebut dinilai tidak sesuai dengan gagasan serata ajaran mengenai moral agama, maupun hukum-hukum yang tertera dalam kitab suci. Tentu saja, agama sebagai produk budaya, memiliki andil besar dalam mengkonstruksi pemahaman pernikahan yang baik yakni dilakukan oleh pasangan heteroseksual dan bersifat monogami. Selain itu, agama sendiri memiliki andil besar dalam perumusan kaidah-kaidah pernikahan yang meliputi pembagian peran gender hingga pembagian harta warisan.

Adanya pembagian harta warisan sebagai wujud penurunan hak-hak kepemilikan juga dijadikan dasar mengapa sebuah pernikahan harus menjalankan fungsi reproduksinya. Menurut Friedrich Engels, hal tersebut dilatar belakangi dengan kerancuan yang timbul akibat perilaku ekstramarital ketika seseorang hendak mewariskan hak-hak kepemilikannya. Ketika seseorang melakukan hubungan dengan berbagai orang dan selalu bergonta-ganti pasangan, garis keturunannya menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan garis keturunan itu lah yang membuat seseorang sulit mewarisi aset-aset kepemilikannya, semisal ternak, rumah, ataupun deposito. Untuk itu, kemudian muncul konsep pernikahan antara pasangan heteroseksual yang bersifat monogami, dan tentunya dibangun atas konsep hak milik.

Oleh sebab itu, saya setuju dengan pendapat Wilhem Reich, dalam bukunya yang berjudul The Imposition of Sexual Morality, yakni bahwa pernikahan serta nilai-nilai moralitas seksual lainnya merupakan bentukan masyarakat kapitalis yang didasari atas pewarisan hak-hak kepemilikan harta pada keturunan biologis. Lebih lanjutnya lagi, menurut Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan asal perancis, pada abad ke-18 kesadaran negara mengenai pentingnya sebuah populasi dalam memperkaya negara juga menjadikan suatu alasan mengapa pernikahan ideal seperti ini dijadikan suatu hal yang lumrah, normal, dan bahkan menjadi kewajiban bagi seluruh penduduknya. Persoalan pernikahan, struktur keluarga, hingga bagaimana masalah seks pun kemudian diatur oleh negara.

Pernikahan memang tidak pernah bisa lepas dari gagasan-gagasan romantisme. Sebab, baik norma bentukan masyarakat maupun agama, menganggap bahwa pernikahan merupakan suatu jalan ataupun solusi yang ditawarkan untuk menghindari dosa. Ditambah lagi, embel-embel kesiapan serta kesetiaan bagi yang berani menunaikannya! Pernikahan dianggap sebagai suatu wujud pengejawantahan romantisme paling tinggi bagi para pencinta di dunia yang mengaku bahwa dirinya ulung.

Hingga kini saya masih percaya bahwa budaya dan kapitalisme secara beriringan memiliki andil besar dalam mengkonstruksi romantisme dan pernikahan. Dari mulai perkara kecil seperti komodifikasi hal-hal 'romantis' hingga skema pewarisan hak adan aset kepemilikan. Dan saya rasa, hal ini merupakan bahasan yang perlu dikaji dan dikritisi lebih dalam lagi. Bukan berarti pada akhirnya saya menyalahkan mereka yang memutuskan untuk mengekspresikan kecintaannya dengan hal-hal romantis seperti yang saya sebutkan di atas. Dan tentu, saya pun tidak menganggap bahwa pernikahan pasangan heteroseksual yang monogami juga merupakan suatu kekeliruan. Bagi saya, ada baiknya kita sebagai individu yang hidup dalam ruang-ruang sosial dapat sedikit lebih bijak dan berpikiran terbuka. Mencari tahu itu lebih baik dibanding menyerah terhadap suatu realitas yang ada, bukan?



Jakarta, 3 Juli 2016.


A.

Comments

Popular Posts