Perkara Workout dan Mencintai Diri Sendiri
"Bagaimana bisa kita mencinta orang lain dan berharap dicintai pula, ketika di saat bersamaan kita tidak dapat mencintai diri kita sendiri?"
Dua hari yang lalu, saya bertemu teman lama saya di kampus. Siang itu setelah makan bubur bersama Putra, salah satu teman sekelas saya, saya memutuskan untuk membeli cemilan serta ice cream sebagi makanan penutup. Setelah selesai menghabiskan makanan, kami memutuskan untuk kembali ke kampus, dan kemudian saya bertemu teman lama saya, sebut saja D.
Saya dan D berkawan sejak kami berdua duduk di taman kanak-kanak. Baik orang tua saya dan orang tua D mengenal satu sama lain dengan baik. Kami bersekolah di sekolah yang sama hingga bangku kuliah. Sialnya pula, kami bermain di lingkaran yang sama. Lingkaran pertemanan kami diberi julukan intel, sebuah nama absurd untuk sebuah gank yang tidak hendak saya bahas kali ini.
D dan saya sangat dekat. Atau seperti itulah kira-kira orang lain menganggap kami. Hampir seluruh pacar-pacar saya dahulu cemburu dengannya, dan begitu juga pacar-pacar D. Saya merupakan orang yang D cari ketika ia putus cinta, tapi tidak ketika ia bahagia. Tapi tak mengapa.
Baik D dan saya kuliah di fakultas yang sama, hanya berbeda jurusan. D merupakan mahasiswa ilmu administrasi negara, sedangkan saya merupakan mahasiswa ilmu komunikasi. Jarak yang tidak seberapa tidak pernah benar-benar membuat kita semakin dekat. Karena pada akhirnya, dunia perkuliahan menjungkir balikan hubungan kita.
Singkat cerita, selama semester lima ini saya belum sekali pun bertemu dengannya. Terakhir kali saya bertemu dengannya itu di bulan juli, ketika kami sama-sama berkumpul dengan kawan-kawan intel lainnya. Seketika itu pula saya menyapanya dari kejauhan. Waktu itu ia bersama pacarnya, dan ia nampak sebegitu kagetnya. Saya pun heran.
"Buset gendut banget lu sekarang! Perasaan dulu kurus banget deh." Itulah ucapan yang pertama kali ia utarakan kepada saya. Diiringi pula dengan segala ejekan mengenai bentuk tubuh dan berat badan saya. Di sebelahnya ada kekasihnya, sebut saja Y, perempuan yang memenuhi standar kecantikan masa kini, dengan tubuh sintal, kulit putih, dan hidung mancung, hanya sedikit tertawa renyah menimpali guyonannya.
Sesungguhnya saya tidak pernah benar-benar merasa sakit hati karena saya tahu itu hanya sebuah guyonan. Dan toh, badan saya memang besar. Berat badan saya pun memang naik drastis selama satu tahun ke belakang. Saya tidak pernah benar-benar menganggap guyonan itu serius sampai ketika saya pulang ke kos, saya mulai meratapi bentuk tubuh saya di cermin.
Saya menggemuk. Lemak seolah-olah berkespansi dengan luwesnya. Dahulu saya kurus dan memenuhi standar kecantikan perempuan mapan. Apa yang saya lakukan? Saya harus berubah!
Seketika itu juga saya merasa ada suatu hal yang salah dengan tubuh saya. Saya mulai melihat berbagai video motivasi dari orang-orang yang telah berhasil menguruskan badannya. Sayakemudian mulai sibuk mencari-cari cara yang dapat saya lakukan untuk mengecilkan bentuk tubuh saya yang sudah tidak karuan!
Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan workout berbekal video tutorial yang saya temukan di instagram. Dengan pertimbangan bahwa workout tidak mengharuskan saya keluar rumah, praktis, serta cepat dan membakar kalori lebih mudah dibanding jogging. Di awal-awal saya kuliah hingga saya semester tiga, saya rajin jogging dan senam aeorobik. Saya berpikir bahwa workout akan sama saja dengan kedua kegiatan yang sering saya lakukan d a h u l u.
Ternyata saya salah. Saya sudah lama tidak berolahraga. Sepatu jogging, celana training, dan baju senam yang telah dimuseumkan menjadi saksi atas kemalasan saya untuk bergerak saat ini. Satu jam setelah saya melakukan workout, kaki saya mulai lemas. Tiga jam setelah itu, kaki saya mulai sakit tidak karuan. Pagi hari setalah saya bangun dari tidur, kaki saya tidak bisa digerakkan. Bahkan untuk duduk dan menapak pun sakitnya macam ditusuk-tusuk kulit durian. Dua hari setelahnya kaki hingga pinggul saya masih sakit tanpa ampun!
Teman-teman saya mulai mengolok-olok saya seperti nenek-nenek. Andai mereka tahu motif di balik sakitnya pinggul hingga kaki saya, mungkin mereka akan mengolok-olok saya lebih parah lagi! Kali ini saya sadar sebenarnya tidak ada yang salah dari tubuh saya. Saya menjaga kesehatan dengan pola makan yang baik. Satu-satunya hal yang tidak baik dari saya ialah kenyataan bahwa saya sudah tidak lagi berolahraga. Saya tidak obesitas dan berat badan saya masih terlampau normal dan seimbang dengan tinggi badan saya. Apa yang salah dari saya sebenarnya ialah jiwa saya, mengenai bagaimana saya dapat mencintai diri saya sendiri.
Sudah lama saya memutuskan untuk meninggalkan diet dan olahraga untuk menjaga berat badan. Hal tersebut saya lakukan setelah saya sadar bahwa segala upaya itu dilakukan bukan karena saya ingin sehat, tetapi karena saya ingin memenuhi standar kecantikan yang sudah mapan. Dalam hal ini, standar kecantikan bentukan kapitalisme yang membombardir perempuan dengan iklan-iklan produk kecantikan, tayangan film, dan juga bentuk bentuk karya seni lainnya. Perempuan yang cantik dianggap berwajah putih mulus, berkulit langsat, dengan rambut hitam, tubuh yang sintal, serta hidung yang mancung. Tidak heran banyak perempuan dewasa ini menjadi qurban iklan yang secara tidak sadar memperkaya para kapitalis di luar sana!
Bentuk dan rupa tubuh perempuan yang dieksploitasi sebagai komoditas oleh para pemilik modal untuk mengkomersialisasikan dagangannya dijadikan sebuah standar kecantikan mapan yang diamini gadis-gadis kebanyakan. Pada akhirnya mereka menjadi lupa diri. Lupa akan pentingnya mencintai diri sendiri. Saya banyak menjumpai teman perempuan saya yang diare tiga hari hanya karena mengkonsumsi slimming tea. Atau adapula teman saya yang masuk rumah sakit karena dietnya yang ketat sekali. Lebih konyol lagi, teman saya pun pernah mengalami gangguan pada otot kakinya hanya karena terlalu sering senam dan jogging. Semua itu mereka lakukan hanya demi terlihat cantik!
Dan mereka ingin menjadi cantik agar dapat memikat lelaki!
Motivasi tolol tersebut sesungguhnya membuktian bahwa hingga kini perempuan masih saja menempatkan dirinya sebagai objek dari laki-laki. Objek yang perlu berusaha terlihat apik agar kelak dapat diminati. Banyak dari perempuan-perempuan, yang boleh saya bilang misoginis seperti itu, tidak mengenal frasa mencintai diri sendiri. Mereka hanya menghamba pada kekaguman orang lain. Merasa hidup dari pujian dan basa-basi. Mereka hanya mencintai dirinya yang dicintai orang lain. Suatu realitas menyedihkan yang sampai sekarang terus terjadi.
Padahal sesungguhnya, mencintai diri sendiri itu ialah hak dan kewajiban segala bangsa. Menjadi hak ketika kita dibebaskan untuk melakukan segala hal yang menyenangkan atas nama mencitai diri sendiri. Menjadi kewajiban pula ketika kita dituntut untuk melakukan wujud-wujud pengejawantahan kecintaan kita terhadap diri sendiri dengan tidak menyiksa dan menyakitinya.Saya memang tidak pandai berlogika, tetapi saya selalu berpikir, bagaimana bisa kita mencinta orang lain dan berharap dicintai pula, ketika di saat bersamaan kita tidak dapat mencintai diri kita sendiri?
Seharusnya manusia memiliki suatu kesadaran akan pentingnya mencintai diri sendiri. Perempuan sebagai manusia seharusnya berhenti menghamba pada tekanan dan standar kecantikan tidak rasional tersebut, dan mulai mencintai diri sendiri. Menjadi terlalu gemuk memang tidak baik, fakta empiris pun berbicara bahwa lemak berlebih menciptakan berbagai penyakit. Namun, bukan berarti kita harus memaksa diri kita melakukan diet dan olahraga berlebih, ditambah lagi konsumsi obat-obatan dan produk tertentu, dan juga menghambur-hamburkan uang yang tidak perlu hanya untuk memutihkan kulit, memancungkan hidung, ataupun mengencangkan payudara.
People deserve to be treated for who they are, not for what others want them to become. People deserve to be loved for who they are, not for what others want them to become.
Purwokerto, 4 Desember 2016
Anggi.
Comments