Merdeka Itu Hanya Fana, Penjajahan Yang Abadi
Cita-cita saya jadi orang yang merdeka. Tapi nggak bisa dong ujug-ujug saya langsung merdeka. Merdekain Indonesia aja butuh beratus-ratus tahun perjuangan, gimana saya?
Akhir-akhir ini saya jadi agak setres. Emang dasarnya saya itu pemikir kali yah. Bukan pemikir dalam arti ilmuan ataupun peneliti yah, ini tuh mikirnya mikirin hal yang nggak penting! Kayak misalnya, saya setres ngeliatin temen-temen perempuan saya yang hidupnya hanya sibuk belajar dandan dan beli gincu. Saya setres ngeliat perempuan-perempuan di sekeliling saya terkukung dengan standar kecantikan buatan masyarakat patriarkis. Terus hubungannya sama saya apa? Toh bukan saya yang begitu kan? Aneh? Emang!
Kadang, Akbar selalu bilang sama saya kalau saya itu kebanyakan buang-buang waktu buat mikir. Ujungnya saya setres sendiri. Buat apa coba mentokin standar hidup orang-orang dengan ideologi pribadi? Di jaman serba edan kayak gini, ada baiknya ngurusin diri sendiri daripada ngurusin hidup orang. Tololnya saya selalu mengulang kesalahan yang sama.
Saya selalu sibuk mengkritik kultur orang indonesia yang terlalu kolektif. Saking kolektifnya sampai seneng ngurusin agama, orientasi seksual, relasi sentimentil, dan kondisi finansial seseorang. Tapi apa bedanya orang-orang Indonesia yang saya sebutkan dengan saya? Saya bahkan masih suka musingin orang lain dan merasa terganggu dengan tindak-tanduknya yang tidak sesuai dengan pemahaman saya. HHHH.
Kenapa pola pikir saya begini yah? Mungkin itu ciri khas mental postkolonial kali yak wkwk.
Selain sibuk nyinyir sama perempuan, saya juga mulai merambah profesi yang sama dengan bidang berbeda yakni nyinyirin orang-orang oportunis dan pragmatis. Jaman kisruh-kisruh pemira di kampus saya, saya sibuk banget nyinyirin calon presbem & wapresbem kampus saya yang hobinya jadi kutu loncat di organisasi (alias numpang eksis biar dapet sk tapi nggak pernah kerja).
Di lain waktu saya juga nyinyirin temen saya yang satunya lagi. Beliau kebetulan punya muka dua dan kaki empat. Saking politisnya saya sempet bilang sama dia supaya pas lulus berkarir aja jadi politikus WKWKWK. Oh iya, beliau ini pinter banget nyari eksistensi, kerjaannya ikut sesuatu tapi kalau dirasa sudah tidak menguntungkan doi (terutama secara finansial) ya bakal ditinggalin!
Alesan doi begitu yah udah pasti agar bisa bertahan di tengah dunia yang kejam ini. Ada satu quote dari doi yang saya pertahanin sampai sekarang, dan ujung-ujungnya kayak saya amini:
"Nggak ada manusia yang bisa merdeka hidupnya kalau nggak mapan secara finansial."
Hihihihihi.... kalau dipikir-pikir bener juga sih. Tapi kalau misalnya kita menghamba pada kapitalisme atas nama kemerdekaan finansial, kita terjajah juga dong yah oleh uang?
Sebenarnya nggak ada yang perlu disalahkan sih kecuali kepedulian saya yang terlalu tinggi ini. Saking pedulinya saya sampai beralih profesi dari mahasiswa jadi tukang nyinyir lol. Nggak salah juga doi pada akhirnya memilih terjajah dengan otak money-oriented nya. Sebab kalau nggak ada duit, gimana caranya kita bisa hidup bebas sebebas-bebasnya. At least duit dipake buat nyumpel mulut-mulut nyinyir cem gue di luar sana hahahahaha.
Pada akhirnya saya sadar bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya merdeka. Merdeka itu hanya fana, penjajahan yang abadi!

Comments