Patah Hati
Saya pernah patah hati dan lebih devastating daripada ini. Tapi kenapa ya perasaan sedih-tapi-nggak-bisa-nangis lebih menyiksa daripada jaman baheula dulu pas kerjaan saya nangis gerung-gerung karena diselingkuhin?
Mbuh lah...
Kehidupan romansa saya nggak pernah mulus. Kalau di pandang dari perspektif orang-orang normal dengan standar hubungan heteroseksual yang monogami, kehidupan romansa saya menjadi upnormal ketika saya kuliah. Sebab semenjak saya diselingkuhin di semester awal, saya mulai kehilangan kepercayaan atas hubungan monogami. Yups.. ditambah lagi dengan kondisi relasi kedua orang tua saya hahaha.
Tapi satu hal yang saya petik sebagai hikmah dari ini semua ialah kemampuan saya untuk melakukan manajemen perasaan (istilah yang saya bikin-bikin sendiri untuk mengatur ketertarikan secara romantis kepada orang lain). Saya percaya pada hakekatnya manusia memiliki perasaan yang tidak melulu dimanifestasikan pada satu orang. Kalau bisa sayang sama banyak orang kenapa harus cuman sama satu orang? Sebegitu egosentrisnya kah diri kita sampai minta dijadiin pusat perhatian?
Walaupun diselingkuhin bisa menjungkirbalikkan hidup saya, kini saya bersyukur soalnya tanpa diselingkuhin saya nggak bakal tahu dan mengerti soal konstruksi hubungan romansa macam mana. Soalnya percaya nggak percaya, kapitalisme menkonstruksi relasi hubungan yang bersifat monogami dan heteroseksual agar aset dan harta memiliki garis waris yang jelas. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan diharapkan dapat melanggengkan proses prokreasi (yang sialnya dibalut dengan dongeng-dongeng romantis macam pernikahan) untuk menciptakan garis keturunan. Garis keturunan ini yang nantinya diharapkan dapat menjalankan aset dan harta agar dapat terus bertambah! Nggak nyangka ya! Dan gobloknya dulu saya ngayal-ngayal pengen kewong sama mantan saya! Hahaha!
Anyway, kenapa saya jadi ngasih kuliah umum ya. Hehehehe.
Setelah saya diselingkuhin mantan saya dulu, saya berkali-kali deket sama orang yet it didn't work. Dari mulai senior, temen bimbel SMA, temen SMA, sampe temen sekepanitiaan!! Sampai sekarang juga nggak ada yang berhasil sih tapi seenggaknya ada beberapa yang membekas di hati.
Pernah sewaktu-waktu saya deket sama senior saya. Doi baik, pinter, dan cukup cerdas. Tapi sayang, sebagaimana pria sok-sok feminis yang masuk ke daftar "10 hidung belang yang perlu dihindari," doi ternyata ngebikin saya patah hati dengan jadian sama perempuan misoginis yang ngebet kewong.
Saya patah hati. Galau tapi nggak bisa nangis. Beli cat minyak lengkap, kuas lengkap, palet, dan kanvas. Ketololan saya waktu itu adalah dengan berpikir bahwa pengalaman saya les melukis dulu bisa dijadikan stimulus atas bakat melukis saya. Syukur-syukur lukisan saya bisa dipajang di kamar. Nyatanya saya gagal jadi seniman dan diketawain Akbar. Gagal melukis, saya mulai beralih profesi dengan minjem gosokan buat gosok baju yang udah digosok demi mengalihkan kegalauan saya! Astaghfirullah.
Selama beberapa bulan ke belakang saya juga sedang dekat dengan salah satu teman kepanitiaan saya yang untungnya cerdas. Saya memang memiliki selera lebih terhadap pria-pria nerd yang kiri agaknya. Setelah saya putus cinta karena diselingkuhi, saya selalu dekat dengan kamerad-kamerad yang menjadikan Internationale sebagi ringtone alarm dan menyanyikan Internationale sesudah dan sebelum tidur. Dan laki-laki satu ini sama sintingnya dengan pria-pria kiri lainnya.
Doi ketua riset di kampus. Hobinya penelitiaan dan ketemu birokrat. Mottonya: melawan dengan data. Jadi jangan heran dia pinter banget menganalisa dan melakukan induksi. Saya melewati masa-masa menyenangkan dan juga bulan-bulan yang lucu. Saya bahagia dan saya menyayanginya. Tapi sayangnya doi masih berkomitmen atas hubungan monogami. Saya pun bingung sendiri. Sampai detik ini.
Waktu itu saya juga pernah merasa (mungkin geer hehe) dideketin senior saya yang kebetulan suka jualan buku di kampus. Doi saking menggelikan dan annoyingnya pernah saya usir. But still, sampai detik ini saya masih deket sama dia. Walaupun it would never be the same *mendadak melankolis*
Di antara tiga laki-laki yang udah saya ceritain (termasuk doi), doi ini orang yang paling dulu dan paling lama saya kenal. Dia pernah liat saya nangis dan patah hati berkali-kali. Dia yang ngetawain lukisan saya. Dia yang selalu saya anggep dateng kalau butuh doang. Dan dia manusia terampas yang pernah saya temuin.
Di saat orang lain mengguyuri saya dengan pujian dan kekaguman, doi selalu ngatain saya bego, kurang belajar, payah, dan cengeng. Saya tidak pernah ambil pusing atas cemoohannya yang mungkin bertujuan untuk memotivasi. Saya tidak pernah sadar bahwa pada akhirnya saya akan merindukannya setengah mati. Bahkan saya nggak pernah paham waktu-waktu yang dihabiskannya sama saya itu spesial apa nggak. Karena bagi saya segalanya hanya menyoal pertemanan.
Saya nggak mau mengamini stereotype kalau pertemanan lawan jenis itu akan berujung cinta karena banyak teman-teman saya yang sesama jenis merajut tali kasih, di lain sisi banyak juga teman lawan jenis saya yang akur membina hubungan pertemanan dengan saya. Hanya saja, saya agak sedikit tidak menyangka kalau opposite-sex friendship kali ini bisa membuat saya sebegininya!
Saya baru sadar kalau saya sebenarnya menyayangi orang tolol itu sebegitunya! Tuhan!
Terus kalau begitu apa yang membuat saya patah hati?
Mungkin fakta bahwa doi tidak menyayangi saya lagi (kalau pernah itu juga ya). Dan fakta bahwa saya harus menyakiti laki-laki yang menggantungkan harapan mengenai hubungan monogaminya kepada saya. Gila!
Sechaos inikah? Sereceh inikah problematika hidup saya? Di saat orang-orang terjerat problematika yang lebih berat seperti dililit dosa, saya masih harus menggeluti perkara romansa ABG? Bruhh..
Seharusnya saya bisa menghabiskan waktu produktif dengan membaca, memasak dan menjahit. Bukannya malah cuap-cuap nulis posting gajebot! Tuhan! Kemana gerangan produktivitas saya?
Persetan lah dengan patah hati! Saya merindukan laki-laki yang senang mencemooh saya dan saya ingin tetap produktif! Semangat!
Comments