Menanti Tumis Katuk
Tadi tukang sayur datang mengetuk pintu. Itu bertanda kalau ia membawa katuk, daun katuk tepatnya. Ibu memang suka daun katuk, walaupun ia sedang tidak menyusui. Daun katuk menjadi makanan berkelas tinggi di matanya karena d perkampungan sempit tempat kita tinggal tidak ada satupun manusia yang menanam daun katuk. Lain halnya dengan diriku. Aku hanya suka bayam dan kangkung, itupun hanya ditumis dan diberi bawang putih. Selebihnya, rasanya tidak enak.
Aku memutuskan untuk mendengar radio sambil sesekali memandang
ibu yang sedang memasak di dapur. Rumah kami kecil, hanya rumah tiga petak
bercat putih kusam biasa yang berada di perkampungan miskin di pinggiran ibukota. Tentu saja di dalam rumahku sangat sumpek dan semerawut. Sofa dengan
kulit yang terkelupas, meja kaca dengan tambalan solatip, ataupun dapur dengan
kamar mandi tanpa pintu yang bisa dilihat semua orang dari luar rumah. Belum
lagi lantainya yang mirip tanah liat serta tembok-tembok yang mengelupas.
Sesekali aku merasa bahwa rumah ini lebih mirip kandang
monyet ketimbang tempat berteduh manusia. Pernah aku berkata demikian pada
ibuku, ia hanya tertawa terpingkal-pingkal dan mengatakan bahwa suatu hari
Ayahku yang katanya konglomerat akan datang dan membawa kita kerumah mewah
ditengah kota. Mendengar hal itu aku senang bukan main. Aku menceritakan hal
itu ke semua orang disekitarku. Dari mulai tukang sayur langganan ibuku,
penduduk sekitar rumahku, sampai pedagangan asongan lain yang suka lewat
di depan rumahku. Respon dari mereka sama, mereka hanya tertawa dan mengatakan
bahwa aku gila, sinting atau mempunyai gangguan jiwa. Tentu saja aku tidak
terima dibilang seperti itu. Aku pun mengadu pada ibuku, ia hanya berkata bahwa
perkataannya waktu itu adalah gurauan dan Ayahku sendiri sudah lama meninggal.
Sejak saat itu aku tahu bahwa aku bukanlah anak seorang konglomerat tetapi,
anak seorang konglomelarat.
Ibu masih sibuk di dapur, ia sedang memotong cabai sambil
sesekali memperhatikan tumisan daun katuknya. “Matikanlah radio itu, carilah udara segar. Bosan ibu melihat kau memutar-mutar saluran radio,” ucapnya.
Dengan malas aku bangun dari kursi dan memutuskan untuk
menaiki pohon jambu di belakang rumah. Hanya itulah tempat sekaligus teman
bermainku. Kebanyakan dan bahkan hampir semua anak kecil di sini tidak mau
bermain denganku. Entah apa yang menyebabkan aku dikucilkan. Satu-satunya teman
manusiaku hanyalah Asgar si tukang sayur keliling. Ia pun hanya datang tujuh
menit dalam satu hari. Kata Ibu, mereka semua hanya orang aneh yang sombong dan
siap menjatuhkan kita di manapun, kapanpun.
Aku mulai mengamati sekelilingku dari atas pohon jambu,
dimulai dengan warung sembako didepan rumahku, kemudian segerombolan anak kecil
yang sedang bermain, sampai rumah bercat merah jambu yang bertingkat tiga di
persimpangan jalan yang sering aku sebut dengan Rumah Persimpangan. Aku tak
pernah bosan memandangi rumah itu, malah terkadang aku bisa menghabiskan tiga
jam diatas pohon hanya untuk membayangkan betapa mewahnya rumah itu. Hampir
semua penduduk disekitar rumahku belum pernah kesana. Katanya, pemilik rumah
itu adalah orang dari pulau seberang. Pernah sekali aku melihat ibu berjalan
terhuyung-huyung kearah rumah itu di malam hari. Sudah setahun memang ibu
bekerja di situ untuk sekedar menyapu dan mengepel serta membersihkan rumah,
disamping pekerjaannya di malam hari. Di malam hari pun, sebelum ia bekerja
terkadang aku suka mengantarnya ke persimpangan jalan sambil menunggu angkutan
umum. Tetapi, kali ini aku heran mengapa ibu harus menunggu hingga larut malam
dan pergi ke rumah persimpangan tanpa berdandan modis seperti biasanya.
Waktu itu sudah larut malam, sekitar pukul dua belas malam.
Karena takut disambit ibu apabila ketahuan belum tidur, aku berpura-pura
memejamkan mataku sambil memeluk guling. Sesekali kuintip ibu masih duduk
memandangku dan mencoba menteliti lagi apakah tidurku sudah pulas atau belum.
Tak lama berselang, ia mulai berjinjit keluar rumah lalu menutup pintu dengan
sangat pelan. Aku masih berpura-pura tidur sampai keadaan sudah aman aku mulai
keluar rumah, tentu saja dengan pintu yang tidak terkunci. Kurasa ibu lupa
mengkunci pintu karena terburu-buru.
Siluet ibu terlihat jelas ditengah sinar bulan purnama,
sesaat aku termenung dan menyadari bahwa ibu sangatlah menawan. Jalan ibu
sungguh sangatlah cepat, sampai akhirnya ia memasuki Rumah Persimpangan lewat
pintu belakang. Antara bingung bercampur takut, aku memutuskan untuk pulang
kerumah. Aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan ibu. Aku tak tahu apa yang
ia lakukan di sana. Sampai pukul empat pagi terdengar bunyi pintu dibuka.
Dengan refleks aku berpura-pura menguap dan bangun dari tidurku. Aku tanyakan
padanya apa yang ia lakukan di luar. Ibu hanya menjawab bahwa ia mendengar
kegaduhan di halaman sehingga ia terbangun dari tidurnya.
Tak terasa langit sudah menjingga, adzan maghrib pun sudah
berkumandang dimana-mana bak perlombaan lari cepat. Itu tandanya sudah empat
jam aku habiskan hari-hariku di atas pohon. Kulihat ibu sedang bersiap-siap,
padahal masih pukul enam sore. Katanya ia punya urusan mendadak yang harus ia
selesaikan. Aku terheran-heran mengapa ibu mengemasi hamper seluruh pakaiannya.
“Ibu harus menjual sebagian pakaian ini di pasar barang
bekas supaya kita bisa makan.” Ucapnya.
Tapi mengapa harus di malam hari? Memangnya pasar barang
bekas buka pada malam hari? Pertanyaan itu selalu membenak di pikiranku. Apakah
ibu berbohong kepadaku? Aku tak tahu. Dengan berat hati aku membantu ibu
membereskan semua pakaian yang masih bagus. Kuselipkan gaun kesukaanku yang
jarang dipakai. Dulu kata Ibu nenek memberikannya untukku walau aku sendiri
tak pernah melihat rupa nenekku.
“Kau simpan lima ribu ini untuk makan, jangan memberikan
barang yang tak perlu kau beli. Ibu hanya pergi sebentar, besok pagi pulang.
Mengerti?”
Aku hanya termangu dalam diam. Sesaat perasaanku seperti
daun katuk layu. Aku hanya bisa tersenyum lemas dan menahan tangis. Walau ibu
benci sekali dengan suara tangis. Setidaknya ibu tahu kalau aku takut
ditinggal. Padahal hanya ditinggal ke pasar. “Ratih tidak akan nakal, bu.”
Bisik ku.
Matahari sudah terbit di ufuk timur, gang di depan rumahku
juga sudah ramai. Tapi entah mengapa ibu belum juga sampai rumah. Sudah pukul
sembilan pagi, ibu belum juga pulang. Terdengar bunyi gerobak sayur Asgar di
belokan gang. Aku terhuyung-huyung menghampiri Asgar. Tak kuasa kutahan
tangisku, kuceritakan semua kejadian itu pada Asgar. Asgar hanya
manggut-manggut dan berkata bahwa untuk beberapa hari kedepan aku bisa tinggal
dirumahnya brsama istri dan anaknya. Tentu, sampai uang lima ribu yang
jumlahnya tidak terlalu banyak itu habis. Aku tidak sampai hati merepotkan
Asgar. Dia selalu baik padaku, begitu juga ibuku. Setelah uang itu habis aku
akan pergi ke panti asuhan.
Belakangan aku tahu bahwa ibuku sengaja meninggalkanku. Di
hari itu, Asgar melihat ibu menenteng tas dan terburu-buru menaiki mobil
bersama seorang laki-laki yang diduga pemilik rumah persimpangan. Ia tidak tega
memberi tahu hal itu padaku. Padahal cerita itu sudah menjadi rahasia umum.
Mereka kabur dan tidak mau merawatku. Aku kaget mendengar cerita itu, tak
pernah terbayangkan seorang ibu tega meninggalkan anaknya sendiri. Mulai saat
itu aku mulai tidak percaya pada pepatah yang mengatakan bahwa “kasih ibu
sepanjang masa, kasih anak sepanjang gala.”
Lima belas tahun sudah terlampaui. Sekarang umurku dua puluh
enam tahun. Terkadang aku berharap aku ikut mati. Aku lelah dengan kesendirian
yang menyakitkan. Aku sekarang benar-benar sendiri. Sendirian lagi, seperti
dulu. Tanpa pohon jambu, Asgar dan juga ibu. Pohon jambu belakang rumahku sudah
ditebang oleh tetangga belakang, katanya daunnya selalu rontok dan membuat
kotor. Sedangkan Asgar, ia baru saja pergi. Kalau ibu?
Comments