Hidup Memang Tidak Melulu Soal Jodoh

source: EWAO


Kecenderungan orang-orang untuk mengkategorikan pasangan hidup sebagi jodoh membuat saya juga ikut-ikutan latah untuk berpikir soal jodoh. Jikalau memang jodoh merupakan seseorang yang seumur hidup harus dipertahankan, akankah saya mampu bertahan dengan satu pasangan saja selama sisa hidup saya?

Lebih jauh lagi, seperti apa sih pasangan yang perlu saya pertahankan seumur hidup?

Mbok ya nggak usah muluk-muluk mikirin cara mempertahankan, dan gimana bentuknya, punya pasangan saja nggak :(

Saya tahu bakal berat banget buat orang kayak saya mencari pasangan hidup. Karena kalau kata laki-laki konvensional, "kamu sudah tahu banyak hal!" Apa memang setiap laki-laki punya mental menjajah yah? Ingin rasanya saya maki-maki si patriarki, tapi apa daya tidak mungkin.

Pesimis saya dibuatnya. Saya takut semua laki-laki di dunia sama saja. Sama-sama suka menindas. Terlalu banyak saya lihat laki-laki feminis dengan wacana seabrek-abrek tapi teteup aja masih konvensional ketika membina suatu ikatan sentimentil! Kurang hipokrit apa coba!

Mungkinkah saya menemukan pasangan hidup idaman? (astaga tuhan berlebihan sekali pertanyaan saya). Pada kenyataannya saya tidak pernah merasa muluk-muluk dalam menginginkan pasangan hidup. Saya hanya ingin individu yang sadar akan kebebasan, individu yang punya skill team-working di atas rata-rata, individu yang sadar konsensus dan kesetaraan, individu yang suportif, dan yang paling penting yah individu yang bisa diajak ngobrol!

Sederhananya begini, saya ingin menghabiskan waktu saya bersama seseorang yang sadar akan kebebasan dirinya, yang tidak melulu terpaku dengan saya. Ia kelak harus lah orang yang mempunyai kuasa penuh akan kehendaknya untuk merealisasikan mimpi-mimpinya. Karena bagi saya, mencintai seseorang tidak harus dengan menjadikannya poros kehidupan. Indonesia aja udah merdeka, masa kita masih aja sih mau dijajah atas nama cinta?

Living together bersama seseorang sama saja dengan menciptakan suatu komune kecil. Entah dalam komitmen pernikahan atau kumpul kebo sekalipun. Saya nggak pernah mempermasalahkan keduanya, walau ada baiknya untuk mengurangi bisik-bisik tetangga saya lebih baik menikah saja. Saya rasa, sebagaimana saya berorganisasi, sudah seharusnya saya sadar kalau tinggal bersama membutuhkan skill team-working di atas rata-rata! Mosok udah sadar akan kesetaraan, saya masih mau terjebak dalam pembagian kerja yang timpang sih? Yah saya ingin lah sama-sama mapan secara finansial, dan membagi beban pekerjaan domestik yang sesungguhnya bisa menghemat anggaran aerobik hhe

Untuk mencapai kesadaran akan pentingnya team-working yang baik, saya harus memiliki pasangan yang sadar akan sebuah konsensus. Dan dalam menentukan konsensus, saya rasa ia kelak juga harus memiliki kesadaran akan kesetaraan agar kelak konsensus yang dibuat tidak berat sebelah! Saya merasa dalam suatu hubungan perlu secara sadar diciptakan suatu kesepakatan yang mengatur pola-pola interaksi. Karena nantinya saya males yah kalau harus bertengkar hanya karena perkara "saya nggak suka kalau kamu suka hubungin perempuan lain" atau karena "saya kan cewek jadi saya maunya dibayarin lah." That's why konsensus atau kesepakatan itu perlu diciptakan secara setara wkwkwkwk :(((

Sebagaimana manusia pada umumnya, saya juga memiliki kebutuhan afeksi. Saya kadang butuh disayang pun menyayangi tanpa harus dipaksa. Jaman-jaman jahiliah dulu sih saya sering membina hubungan sama individu yang kerjanya maksa disayang-sayang se-hectic apapun keadaan saya. Gila! Kini saya sadar bahwa apa yang saya butuhkan pada akhirnya tidak melulu soal sayang-sayangan, tapi yah perkara dukungan, support. Suportif bagi saya tidak melulu dimaknai sebagai dukungan secara verbal. Alangkah lebih baiknya, pengejawantahan dukungan menjadi sebuah bentuk pengertian, kasih sayang, dan hiburan pada porsi yang tepat. Coba bayangin deh, enak nggak sih ngerasa melankolis setelah seharian capek? RECEH BANGET YAH SAYA TERNYATA WQWQ.

Ada hal paling esensial dan fundamental yang saya rasa harus jadi salah satu parameter penentu pasangan hidup yakni bisa atau tidaknya diajak ngobrol. Banyak bahtera rumah tangga (anjay) atau hubungan pasangan-pasangan di sekeliling saya yang gagal karena faktor "tidak bisa diajak ngobrol" ini. Bagi saya, memiliki pasangan tidak melulu membicarakan perkara sentimentil. Sebuah hubungan itu harus mencerdaskan, mosok iya kamu mau menghabiskan waktumu hanya dengan ndusel-ndusel tiap saat? Peningkatan wacana merupakan suatu keniscayaan hubungan. Jangan sampai nantinya relasi yang diciptakan hanya akan memperbodoh diri sendiri. Yah semoga saja kelak mimpi saya yang satu ini kesampaian....

Di balik segala hal yang udah saya bacotin di atas, sebenarnya ada lagi satu starter pack yang udah wajib dimiliki tiap orang yakni "penerimaan." Banyak orang beretorika a, b, atau c tapi dalam praktiknya suka agak sedikit-sedikit menyimpang dari yang diucapkannya. Kalau sudah begitu yah meringis aja sambil ngebatin "manusiawi kok" hehehehehe.

Hidup memang tidak melulu soal jodoh. Tapi, saya pada akhirnya telah mencapai suatu konklusi bahwa setiap manusia yang hidup di dunia perlu memiliki  pasangan hidup. Entah pantaskah pasangan hidup dikategorikan sebagai jodoh atau tidak, yang jelas yah nantinya pasti akan ada seseorang yang ada untuk menemani sisa hidup di hari-hari ke depan~



Mewakili persatuan butjin seindonesia raya,


A!

Comments

Popular Posts