Ternyata Camus Benar, Hidup Hanyalah Keabsurdan yang Berulang






Kawan-kawan yang kebetulan sama-sama menjadi bonus demografi tahun 2025, izinkan saya mencurahkan isi hati saya yang sudah kadung semerawut ini. Perlu diketahui sebelumnya, saya ini perempuan biasa yang katanya dianugerahi emosi lebih besar dibanding nalar kritis. Jadi, mungkin beberapa dari kalian akan merasa tulisan ini terlalu temehek-mehek, lebih-lebih menguras hati (kayak bak mandi aja dikuras hehe).

Begini warganet yang budiman,

Saya sudah memasuki fase di mana saya mulai mempertanyakan mengapa saya harus hidup di dunia. Sejatinya, hidup di dunia bukanlah perkara mudah. Sadar tak sadar, realitas yang ada di dunia merupakan sebuah konstruksi yang telah mapan dan diwarisi. Bagi mereka-mereka yang tidak ambil pusing, mudah saja menganggap hidup ini sebagai anugerah -- sebab sedari kecil pun mereka secara dogmatis diajarkan untuk bersyukur kepada yang maha kuasa. Tetapi, bagaimana bagi mereka-mereka yang sibuk berkontemplasi dengan pikirannya? 

Akhir-akhir ini saya mulai gerah melihat realitas di sekeliling saya. Dari mulai hal simple macam mode berpakaian dan standar kemapanan estetika, hingga politik identitas. Saya muak melihat banyak orang-orang jadi korban komersialisasi agama, dan saya muak juga melihat agama dijadikan suatu komoditas. Kira-kiranya begitu lah contoh kegundahan yang ada di otak saya. Susah dijelaskan yah? Memang.

Sebenarnya ada hal yang lebih fundamental dan mengusik saya di samping problematika sosial yang saya sebutkan di atas. Saya mulai muak dengan norma dan nilai-nilai yang diwarisi secara kultural kepada diri saya. Atau setidaknya secara paksa diwarisi kepada saya. Seperti misalnya bagaimana saya harus bersikap karena saya terlahir dengan jenis kelamin tertentu, atau bagaimana saya harus memenuhi segala standar kemapanan yang telah ada -- untuk lulus kuliah, bekerja, menikah dan beranak. Dan sialnya, dari hari ke hari saya mulai membangkang. Bahasanya, saya berusaha melawan norma dan nilai tersebut. Pengejawantahan dari perlawanan tersebut ialah berbagai tindak-tanduk yang membuat orang lain akan menggelengkan kepala.

Saya mulai menganggap bahwa masyarakat dan lingkungan sosial di sekitar saya memiliki medium yang berbeda atas diri saya sendiri. Sebab saya memilih untuk berperilaku berbeda dari orang kebanyakan. Saya mulai melakukan alienasi terhadap diri saya karena ketidaksesuaian yang saya miliki. Dan di dalam keterasingan saya, saya merasa kalau hidup hanyalah suatu keabsurdan yang berulang. 

Mengapa saya sebut absurd? Karena kebanyakan orang hidup di dunia dengan pasrah. Mereka pasrah untuk melakukan apapun yang dikonstruksikan atas dirinya. Norma dan nilai yang ada dengan mudah terindoktrinasi oleh mereka. Seolah-olah narasi satu arah yang diberikan kepada mereka merupakan asupan bergizi pelengkap air susu ibu. Mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan suatu siklus hidup yang tidak perlu dipertanyakan dan hanya perlu dijalani.

Hal ini membuat saya teringat pada Meursault, tokoh populer yang ada dalam buku The Stranger karya Albert Camus. Dalam buku tersebut diceritakan bahwa Meursault merupakan seorang individu yang mendobrak standar kemapanan masyarakat. Ia merasa bahwa orang-orang disekelilingnya bukan hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menyesuaikan apa-apa yang telah diatur oleh lingkungan sosial. Meursault merupakan individu merdeka yang hidup sesuai kehendaknya. Karena perilakunya tersebut, ia mulai mengasingkan diri dan sadar bahwa sebenarnya hidup itu merupakan sebuah ketidakbermaknaan. 

Kesadaran Meursault akan ketidakbermaknaan hidup yang berbeda dari kesadaran manusia pada umumnya merupakan suatu bentuk absurditas yang ditekankan oleh Camus. Bahkan, Mersault sendiri tidak menyesal telah menembak mati seorang Arab. Baginya, insiden tersebut memberikan pengalaman padanya untuk tahu bagaimana rasanya menembak mati seseorang. Ia menerima untuk diadili dan secara sadar menganggap bahwa itu sudah menjadi siklus hidupnya. Apa yang membedakannya dengan orang lain? Terang saja bagaimana Meursault berani berperilaku sesuai kehendaknya sendiri, tanpa embel-embel standar keteraturan yang telah dikonstruksi!

Meursault sadar bahwa hidup sangatlah absurd. Oleh karena itu, ia tidak ingin merelakan dirinya untuk terjembab dalam lingkaran keabsurdan yang tidak bermakna. Bagi saya, dalam tataran ini, Camus berhasil menggelitik nalar kritis pembacanya untuk menggali lebih dalam mengenai betapa tidak bermaknanya sebuah kehidupan jika pada akhirnya kita hanya tunduk pada standar yang sudah mapan. Walaupun pada dasarnya standar kemapanan itu bergantung pada persepsi kultural, tetap saja masih banyak orang menganggap bahwa hal itu merupakan standar operasional kehidupan yang telah digariskan pada tiap-tiap manusia.

Keabsurdan hidup akan terus berulang manakala tiap orang mulai menciptakan pencapaian dalam hidupnya. Kata motivator di televisi, pencapaian dalam hidup tidak boleh hanya sekali, tetapi berkali-kali bung! Tentu saja pencapaian yang dimaksud ialah apa-apa yang telah digariskan dalam kitab konstruksi sosial! Coba lihat saja, adakah sebuah pencapaian yang tidak sesuai dengan standar kemapanan? Mustahil sekali seseorang menjadikan perkara tidak naik kelas, ataupun perkara menikah di usia tua, sebagai suatu pencapaian. Saya rasa selama masyarakat memaknai pencapaian yang absurd tersebut sebagai suatu keharusan, selamanya pula saya tidak mengkehendaki diri saya untuk mencapai sesuatu. 

Pada akhirnya, Meursault memberikan saya banyak pelajaran menyoal ketidakbermaknaan hidup dan betapa absurdnya realitas yang telah ada. Ternyata Camus benar, hidup hanyalah sebuah keabsurdan yang berulang. Setidaknya itulah persepsi yang saya miliki untuk menyikapi kepalsuan yang ada. 



1 September 2017


A.

Comments

Popular Posts