Love for Sale dan Gambaran Realita Perempuan Indonesia

SOURCE: OKEZONE.COM

Love for Sale merupakan film roman besutan sutradara Andribachtiar Yusuf yang hadir setelah publik secara beruntun dihujani film-film roman lokal. Sebut saja Dilan, ataupun Eiffel I'm in Love (yang tentunya tidak akan saya bahas kali ini). Meskipun sama-sama memiliki genre roman, Love for Sale diperuntukkan untuk audiens yang berbeda. Apabila Dilan atau Eiffel I'm in Love ditujukan untuk penonton remaja, maka Love for Sale lebih ditujukan kepada audiens yang dewasa yakni sekitar usia 21 ke atas.

Plot cerita yang dibawa film ini sebenarnya klasik, yakni mengenai seorang bujang lapuk yang sibuk mencari jodoh. Sebagaimana prototype drama percintaan mengenai bujang lapuk pada umumnya, Love for Sale mengisahkan seorang pria bernama Richard (Gading Marten) yang terlalu sibuk menekuni usaha percetakan warisan keluarganya. Richard digambarkan sebagai pria berwatak lurus yang terlena pada zona nyamannya. Ia senang berkomunikasi dengan kura-kura peliharaannya dan hobi mengkonsumsi mie instan setiap harinya.

Singkat cerita, suatu saat Richard terjebak dalam suatu taruhan yang mengharuskannya membawa pasangan ke resepsi pernikahan salah satu kawannya. Ia kemudian tidak sengaja menemukan Love Inc, salah satu aplikasi kencan yang memiliki jasa penyewaan pasangan. 

Kehadiran Love Inc sebenarnya merupakan pelumas dari film ini. Setelah berpikir panjang, akhirnya Richard memutuskan untuk menggunakan jasa Love Inc untuk mendapatkan pasangan (setidaknya untuk dibawa ke resepsi pernikahan). Ia kemudian bertemu Arini (Della Dartyan), perempuan yang jasanya telah ia sewa melalui Love Inc. 

Arini bukan perempuan biasa, setidaknya bagi Richard. Kegemarannya pada sepak bola, kemampuannya untuk melayani Richard, dan berbagai afeksi yang diberikannya membuat Richard jatuh cinta kepadanya. Di hari terakhir kontraknya, Arini menghilang tanpa pernah menerima lamaran yang diberikan Richard. Hal tersebut membuat Richard nelangsa sejadi-jadinya, sekaligus menjadi titik awal perubahan dalam kehidupannya. 

Pada dasarnya, Love for Sale menawarkan hal-hal yang tidak biasa dari film roman Indonesia yang melulu diisi dengan tokoh-tokoh pria yang tampan, dengan pesona dan kekayaan melimpah. Sebaliknya, tokoh Richard sendiri merupakan kebalikan dari segalanya. Ia culun, tidak memiliki selera berpakaian yang baik, dan juga judes. 

Tidak salah apabila film ini dapat dikatakan sebagai representasi wujud bujang lapuk se-indonesia raya. Namun ternyata, selain menggambarkan citra bujang lapuk di Indonesia, film ini juga menyelipkan beberapa gambaran realita perempuan yang hidup di Indonesia. Seperti bagaimana posisi, sifat-sifat, dan juga nasib yang melekat pada perempuan di masyarakat.

Perempuan Pantas Menjadi Korban Catcall

Pada adegan awal film ini, digambarkan Richard dan kawan-kawannya sedang berdiri di depan kafe seusai menghadiri acara nobar (nonton bareng) pertandingan sepak bola. Seorang perempuan digambarkan berdiri di dekat mereka sembari menunggu kendaraan dan pasangannya yang masih di dalam. Sontak kawan-kawan Richard yang terdiri dari segerombolan lelaki melakukan catcall terhadap perempuan tersebut secara membabi-buta.

Apa yang saya pelajari kemudian dari adegan ini ialah fakta bahwa perempuan pantas menjadi korban catcall. Apalagi ketika perempuan tersebut digambarkan sebagai perempuan yang memenuhi standar kecantikan konvensional dan keluar di malam hari. Narasi perempuan cantik tidak boleh keluar malam merupakan hal yang klasik di tengah-tengah pemahaman masyarakat yang masih misoginis. Perempuan cantik yang keluar malam akan dicap kurang baik, lebih-lebih binal. Untung saja film ini tidak secara gamblang menarasikan bahwa perempuan yang menjadi korban catcall tersebut bukanlah perempuan baik-baik.

Perempuan Menarik ialah Mereka yang Pintar Melayani dan Agresif di Ranjang

Arini, perempuan yang berhasil membuat Richard jatuh hati, merupakan perempuan yang lekat pada stereotipe istri Indonesia. Ia kalem dan senantiasa menjaga pasangannya dengan melayani kebutuhan dasarnya. Seperti misalnya memperhatikan pola makan Richard, memasak, mencuci, dan melakukan hal-hal domestik lain. Ia tinggal di rumah sepanjang hari, dan bangun setiap pagi untuk menyiapkan kebutuhan Richard. Singkatnya, ia tipikal istri idaman pria-pria Indonesia kebanyakan.

Meskipun film ini berusaha menggambarkan perempuan yang terdomestikasi dalam stereotipe, tetap saja ada sisi lain yang agaknya tidak biasa dalam karakter perempuan dalam film roman pada umumnya. Arini merupakan seorang perempuan yang agresif di ranjang. Ia tidak segan-segan menuntun Richard dan mempraktikkan posisi "woman on top" selama berhubungan seks. Karakter Arini menghadirkan fakta baru yang saya pelajari bahwa ternyata perempuan yang menarik ialah  selain mereka yang pintar melayani, juga mereka yang agresif di ranjang.

Agaknya standar perempuan menarik di kalangan pria urban telah bergeser dari semula "perempuan yang melayani dan manut di ranjang", menjadi "perempuan yang melayani dan agresif di ranjang". Menurut wawancara yang dilakukan Majalah Cosmopolitan, pria sangat senang dan semakin bersemangat apabila memiliki pasangan perempuan yang agresif di ranjang. Penggambaran Arini sebagai sosok perempuan yang melayani tetapi agresif setidaknya merepresentasikan selera beberapa pria terkait perempuan menarik yang agresif di ranjang. Ujungnya, standar perempuan menarik tidak pernah lari jauh dari konsep dapur, sumur, dan kasur.

Perempuan Merupakan Komoditas

Love Inc, perusahaan penyedia jasa teman kencan yang menjadi pelumas dalam film ini, menyediakan daftar perempuan yang disewakan untuk menjadi teman kencan. Perempuan-perempuan tersebut ditampilkan dengan foto menarik dan dapat dipilih sesuka hati. Setelah melihat-lihat foto beberapa perempuan, ada adegan di mana Richard pada akhirnya memencet tombol "book now" terhadap profil Arini.

Setelah berpikir secara seksama, saya mulai bertanya-tanya, apakah Love Inc merupakan layanan komodifikasi perempuan ala milenial? Film ini memberikan suatu kesadaran baru bagi saya bahwa bahkan kehadiran perempuan pun dapat dijadikan suatu komoditas. Perempuan-perempuan seperti Arini menjual jasanya sebagai teman kencan yang dapat diajak tinggal bersama, tentu saja dengan tampilannya yang cantik dan menarik. 

Hanya dengan menyetorkan tarif tertentu, perempuan seperti Arini dapat menjadi teman kencan dan tinggal bersama sesuai waktu yang ditentukan. Mungkin saja di era yang semakin kreatif seperti sekarang, komodifikasi perempuan tidak melulu direpresentasikan dalam dunia prostitusi, melainkan juga dengan jasa penyewaan teman kencan ala Love Inc seperti yang diceritakan dalam film ini.

Pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa meskipun Love for Sale menyajikan cerita cinta yang berbeda dari kebanyakan, tetap saja film ini masih merepresentasikan perempuan dalam posisi dan stereotipe yang sama seperti film-film kebanyakan. Namun, di balik hal tersebut, film ini setidaknya dapat dijadikan salah satu rekomendasi film roman untuk anda yang bosan dengan film-film roman kacangan ala ala FTV di luar sana yang menolak realistis pada kenyataan.



23/3/18



Anggi

Comments

Popular Posts