Bukan Soal Perempuan Biasa, Film Ini Mengajak Saya untuk Memaknai Hari Kartini Selama #dirumahaja
Tulisan ini juga dimuat di Blog Trans Media Sosial dengan judul yang serupa.
Siapa yang tak kenal Kartini? Perjuangan pahlawan emansipasi perempuan ini selalu diperingati tiap tahun, tepat di hari ulang tahunnya yakni 21 April. Namanya pun dilantunkan dalam lagu nasional. Jika kamu tumbuh besar di Indonesia, lagu Ibu Kita Kartini pasti akrab di telinga. Bahkan seringkali dijadikan bahan ujian praktik pelajaran seni musik semasa sekolah.
Hari Kartini menjadi pengingat bagi kita untuk mewujudkan emansipasi perempuan dengan nilai-nilai kesetaraan gender dalam lingkungan bermasyarakat. Pada kesempatan kali ini, saya akan mengajakmu untuk memperingati Hari Kartini selama #dirumahaja. Melalui 5 rekomendasi film berikut ini, kamu tidak hanya diajak untuk membahas soal perempuan biasa, tetapi juga memaknai Hari Kartini dalam refleksi perjuangan dan kehidupan perempuan di masa sekarang.
Hidden Figures (2016)
Hidden Figures merupakan film besutan sutradara Theodore Melfi yang ditulis oleh dirinya dan juga Allison Schroeder. Secara garis besar, film ini menampilkan perjuangan tiga perempuan berkulit hitam di Lembaga Luar Angkasa AS (NASA) pada tahun 1961 yakni Katherine Goble Johnson, Dorothy Vaughan dan Mary Jackson.
Perlu diketahui bahwa di masa itu, orang-orang kulit hitam merupakan kelompok minoritas dan perempuan merupakan kelompok kelas dua yang dipandang sebelah mata. Kebijakan segregasi yang memisahkan pekerja berdasarkan ras masih berlaku di Amerika Serikat. Nah, bayangkan saja bagaimana jadinya jika kamu menjadi perempuan berkulit hitam, berat sekali bukan?
Film ini berhasil menggambarkan perjuangan ketiga ilmuwan matematika di NASA untuk berkembang meskipun mendapatkan perilaku diskriminatif dari para pekerja di sana. Pada akhirnya mereka berhasil membuktikan bahwa kejeniusan mereka di atas rata-rata pegawai lainnya.
Intinya, film ini akan menyuguhkan perjuangan perempuan kelompok minoritas yang cenderung terpinggirkan. Dari film ini kamu belajar bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk berkembang tanpa memandang status, jenis kelamin dan ras.
Pink (2016)
No means no. Itulah kira-kira penggalan yang pas untuk menggambarkan Pink. Pink sendiri mengisahkan perjuangan tiga orang perempuan India yang menjadi korban kekerasan seksual. Ketiga perempuan tersebut yakni Minal Aurora, Falak Ali dan Andrea Tarirang.
Minal Aurora, Falak Ali dan Andrea Tarirang mendapatkan intimidasi dari pelaku setelah Minal melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Alih-alih mendapatkan keberpihakan hukum, ia justru malah mendapatkan gugatan dari pelaku yang memfitnahnya. Kebetulan, pelaku merupakan kerabat politisi terpandang dari Delhi Selatan.
Perjuangan tokoh utama (Minal Aurora) dan kedua temannya mencapai titik buntu di tengah-tengah masyarakat India yang misoginis dan menormalisasikan kultur pemerkosaan. Di situlah peran Deepak Sehgal, seorang pensiunan pengacara yang mengidap bipolar, berusaha membela Minal di meja hijau.
Deepak berhasil membebaskan Minal dari dakwaan dengan argumennya yang cerdas. Selama persidangan, kamu akan diajak untuk memahami bahwa perempuan punya hak untuk bersuara. Perempuan punya hak untuk melakukan apapun yang diinginkan. Perempuan tidak melulu dimaknai dalam spektrum hitam dan putih, dalam baik dan buruk. Perempuan tidak melulu didefinisikan dalam standar moralitas yang timpang.
Pink mengajarkan kita untuk memiliki pikiran terbuka dalam memandang perempuan. Apakah perempuan yang merokok, memakai rok mini, meminun alkohol itu tidak baik? Apakah perempuan yang sering pulang malam itu pantas dilecehkan, meskipun karena tuntutan pekerjaan? Sebab seringkali, hukum yang sama tidak berlaku untuk laki-laki.
Pada akhirnya, film ini akan mengajakmu untuk berhenti menormalisasikan kekerasan terhadap perempuan hanya karena “mereka pantas menerima perlakukan tersebut.” Seperti apapun penampilan dan gaya hidup perempuan, jika ia bilang tidak, yah berarti tidak.
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017)
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak merupakan film garapan Mouly Surya yang dibintangi oleh Marsha Timothy sebagai tokoh utama (Marlina). Film ini dirunut dalam empat bagian seperti judulnya yakni Babak Perampokan, Babak Perjalanan, Babak Pengakuan dan Babak Kelahiran.
Jika selama ini kamu lebih familiar dengan perjuangan perempuan jawa, kali ini kamu akan di ajak untuk menyaksikan perjuangan perempuan masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur yang terlupakan oleh masyarakat.
Mengisahkan tentang Marlina, janda yang hidup mandiri setelah kematian suaminya, film ini menyajikan konflik yang apik manakala Marlina didatangi oleh komplotan perampok (Markus CS) yang tidak hanya mengambil ternak dan harta bendanya, tetapi juga memperkosa dirinya.
Tidak ada pilihan kecuali melawan, akhirnya Marlina membunuh seluruh anggota perampok dan menebas Markus, otak dari perampokan, yang memperkosa Marlina terlebih dahulu. Ia lalu menenteng kepala Markus yang bunting menuju kantor polisi, berharap akan mendapatkan keadilan yang diharapkan.
Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh, Marlina justru diabaikan oleh petugas kepolisian. Bahkan, menurut petugas tersebut, ia seharusnya menikmati pemerkosaan tersebut mengingat dirinya adalah janda. Berang akan ketidakadilan yang dialaminya, Marlina memutuskan kembali untuk menghadapi komplotan perampok yang ingin membalas dendam kepadanya, sendirian.
Film ini cukup menggambarkan nasib perempuan rural yang miskin dan dilemahkan karena status jandanya. Perjuangan Marlina yang terpinggirkan patut diacungi jempol sebab ia memiliki keberanian untuk melawan di tengah keterbatasan. Selain itu, normalisasi kultur pemerkosaan di Indonesia juga digambarkan dalam film ini. Padahal alih-alih menikmati pemerkosaan, perempuan yang menjadi korban malah mengalami trauma berkepanjangan.
Selain dibuat takjub dengan acting Marsha Timothy, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak juga menyajikan potret keindahan alam Pulau Sumba. Ditambah pula dengan berbagai lelucon sarkas para pemainnya, dijamin kamu akan dibuat terbahak dan termenung secara bersamaan.
Kim Ji-young: Born 1982 (2020)
Kim Ji-young: Born 1982 mengisahkan kehidupan Ji Young yang merelakan karir cemerlangnya untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak. Ji Young sendiri lahir di tengah keluarga Korea yang patriarkal dan misoginis. Sedari awal, ia telah akrab dengan perlakuan diskriminatif dan ketimpangan sebagai anak perempuan.
Film ini mengajak kita untuk menyusuri kehidupan Ji Young. Mulai dari ibunya yang meminta maaf karena melahirkan anak perempuan (Ji Young), dirinya yang setelah hampir diperkosa, disalahkan juga oleh ayahnya karena memakai rok pendek, hingga nasibnya yang seringkali disepelekan walau mendapatkan beban ekstra sebagai ibu rumah tangga.
Sindiran terhadap pahitnya realita kehidupan perempuan dirangkum secara apik dalam film berdurasi 120 menit ini. Kamu akan diajak menyelami rumitnya dilema perempuan Korea yang harus mengubur impiannya demi kewajiban rumah tangga.
Kamu akan menyaksikan bagaimana perempuan-perempuan ini takut mendapat cibibiran dan dicap gagal karena tidak pandai mengurus urusan rumah tangga: mengurus kebutuhan suami dan anak. Padahal, urusan rumah tangga tidak melulu urusan perempuan.
Kegetiran yang dialami Ji Young mungkin sama dengan kegetiran Kartini dan perempuan Indonesia masa kini yang hingga kini masih dilekatkan dalam citra dapur-sumur-kasur. Secara keseluruhan, film ini merupakan tontonan yang bagus untuk memperluas pandanganmu soal perempuan. Berkarir atau tidak, seharusnya perempuan berhak menentukan sendiri nasibnya.
Comments