Here Comes Samosir… (#TobaTrip Bagian I)

pelabuhan ambarita
Kapal Ferry bertolak dari Pelabuhan Ambarita, Samosir

Sore itu, temaram lampu desa melepaskan kepergianku. Gema suara klakson menandakan kapal siap berlayar. Sesekali kulihat gerombolan muda-mudi berfoto di lorong kapal. Walau sedang gerimis, senja di Danau Toba tetaplah indah. 

Kunyalakan playlist klasik yang biasa kudengarkan sehari-hari. Perjalananku kali ini tidak membawa misi apapun selain mencari ketenangan. Beberapa tahun lalu waktu semangatku masih membuncah, jarang sekali aku menikmati keindahan sebuah tempat. Hanya foto yang kupedulikan. Cita-citaku dulu mengabadikan banyak destinasi wisata. Demi konten kalau kata mereka. 

Kini, aku mulai jarang mengambil foto. Aku percaya memori otakku yang jarang terpakai ini masih mampu merekam tempat-tempat indah yang kukunjungi. Selain itu, aku meyakini bahwa kemampuan finansialku yang biasa-biasa saja membuatku tak bisa mengunjungi satu tempat lebih dari sekali. Sudah tentu, aku perlu memanfaatkan waktuku dengan sebaik-baiknya agar tidak menyesal di kemudian hari

Langit semakin gelap, rintik hujan semakin deras. Rambutku mulai terkibar-kibar oleh angin malam yang dinginnya cukup menusuk tulang. Kurapatkan tubuhku lekat-lekat. Aku bersandar pada tiang kapal. Tidak ada bintang malam itu.

***

Aku terbangun dengan kepala yang sakit. Jalan yang berkelok-kelok membuat tubuhku melompat-lompat di tempat duduk. Ternyata kepalaku terbentur jedela bus. Jok penumpang dari kulit sintesis yang lapuk termakan usia membuatnya terasa lebih licin dari biasanya. Sudah terbentur jendela, tubuhku pun hampir tergelincir ke bawah. Ternyata bus sudah sepi penumpang. Kebanyakan sudah turun di Siantar. Pantas saja tidak ada yang menahan tubuhku lagi di sebelah. Kulihat di sekeliling hanya tersisa aku dan beberapa penumpang lain yang tertidur. Nampaknya mereka orang-orang lokal yang sudah terbiasa tidur di bus.

Sudah lima setengah jam bus yang kutumpangi dari Terminal Amplas di pinggiran Kota Medan melaju menuju Parapat, tepian Danau Toba. Seharusnya aku sudah sampai dari dua jam yang lalu. Sayangnya, longsor di tengah perjalanan membuat bus yang kutumpangi mengalami antrean yang cukup panjang. Sekilas kulihat kanan-kiriku pepohonan cukup lebat. 

Tujuh jam yang lalu aku masih menikmati kelezatan Nasi Hainam SP 10 di kawasan pecinan Medan bersama Arkadius, salah satu teman yang kujumpai dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) ketika kuliah. Berbekal informasi dari internet, kami menyusuri pertokoan di kawasan Selat Panjang. Pertama kali tiba di Medan aku cukup heran melihat rumah toko (ruko) bertebaran di mana-mana. Menurut penuturan temanku, kebanyakan ruko di pusat kota merupakan milik orang-orang tionghoa yang diwariskan secara turun-menurun. Pada akhirnya, aku menjuluki Medan sebagai kota 1.000 ruko.

Nasi Hainan SP 10 Selat Panjang
Nasi Hainan SP 10 Selat Panjang

Sekitar tengah malam aku sampai di Parapat. Ternyata di sana cukup ramai. Berbagai penjual jajanan berjejer di pinggir trotoar. Segala jenis makanan tumpah ruah bersama kepulan asap rokok dan gelak tawa muda-mudi yang menghabiskan malam bersama. Aku memutuskan untuk menghampiri penjual dimsum dan sate ayam. Hari itu aku hanya makan sekali di Selat Panjang, rasanya perutku butuh asupan berlebih. Cuaca yang dingin membuat perutku masih lapar walau sudah terisi banyak. Akhirnya aku memesan penutup mulut berupa jangung manis dengan keju. Sungguh, makanan malam itu terasa lezat sekali.

Sebelum berangkat ke Parapat aku telah memesan kamar hotel untuk singgah, sebab malam di Parapat begitu dingin, tidak mungkin aku menunggu di dermaga, merampas lapak tidur anjing-anjing kampung yang kedinginan. Kamar hotel seharga 200.000 per malam cukup bersih untuk ditinggali kurang dari 6 jam saja. Namanya Star Hotel Parapat. Dari pertigaan bundaran Inna Parapat Hotel, aku hanya perlu berbelok kiri, ke arah Pagoda Parapat. Hotel ini terletak di bagian kiri jalan.

Paginya, aku langsung bergegas ke pelabuhan untuk menyeberang ke Tuk Tuk. Sembari menunggu kapal, aku singgah di warung nasi kuning dekat pelabuhan. Tidak ada yang spesial dari rasanya, mirip dengan nasi kuning yang biasa kumakan di Jawa. Hanya saja, nasi ini disajikan dengan sedikit siraman kuah sayur labu dan rimbang. Jujur saja, ini kali pertamaku mencicipi sayur rimbang. Kata Viona, salah satu orang asli Samosir yang juga teman Arkadius, rimbang merupakan kacang-kacangan asli tanah Batak. Namun setelah dicicipi, rasanya tidak terlalu mirip kacang. Teksturnya lebih empuk dan sedikit halus. Setelah kucari informasi di Google, ternyata rimbang bukan kacang melainkan terung pipit atau bahasa kerennya mini-eggplant hahaha.

dermaga parapat
Kapal kecil dari Dermaga Parapat

Lima belas menit kemudian kapal kecil telah membawaku bertolak menuju Tuk-Tuk, salah satu tempat penyeberangan berbagai kapal dan perahu kecil di Samosir. Riuh angin mengibarkan rambutku yang panjangnya tidak seberapa. Gumpalan awan membuat langit terlihat mendung, walau sedikit bisa kulihat bagian yang cerah di baliknya.

Suara Viona mengejutkanku, “Ayok lah kak foto dulu sekali. Cuman kakak yang cocok jadi modelku.” Viona nantilah yang akan membawaku dan Arkadius mengelilingi Samosir. 

Aku menyunggingkan sedikit senyum dan berpose dalam diam. Sembari merenung dan mengagumi keindahan Danau Toba, kurapalkan sedikit doa supaya semesta merestui perjalananku. Kuharap hujan tidak singgah hari ini.

Anggita Ayu Indari
Aku, siap menjelajahi Samosir.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalananku selama mengunjungi Samosir, Sumatera Utara.

Comments

Agatha Rita said…
Hii... Keren tulisan dan isinya. Salam kenal ya. Smoga bs bertemu di pontianak.

Popular Posts